Saturday, February 11, 2017

Donald Trump dan Post Factual Politik

Post Factual Politics
Sat Rahayuwati/ENT/A361160041





Pendahuluan

Narasi tentang post factual politics yang diuraikan dalam naskah berikut sebagian besar bersumber dari diskusi Battle of Idea 2016 dengan judul  “What is the truth about post-factual politics?”Diskusi tersebut dapat diakses dari laman Youtube https://www.youtube.com/watch?v=B_g1hzz06do.  Moderator diskusi adalah Claire Fox sebagai direktur Institute of Ideas.  Panelist diskusi ada 4 orang yaitu

  • ·  Prof. Neena Modi dari neonatal medicine Imperial College London
  • ·     Prof. Frank Furedi, sebagai sosiologist dan komentator masalah sosial
  • ·    Dr. Adam Rotherford, bidang keahlian geneticist, penulis sain sekaligus penyiar radio BBC London.
  • ·     Josh Lowe, reporter politik Eropa di chanel Newsweek



Panelist menerangkan apa itu, bagaimana dan solusi tentang fenomena post factual politics dari sudut keahlian masing-masing.  Pembicara pertama adalah Dr. Adam yang mengangkat topik kemudian dikaitkan dengan sudut pandangnya sebagai scientist.  Prof. Frank menerangkan fenomena dari sudut pandang seorang sosiologit.  Prof. Neena menggaris bahawi berfikir kritis harus dibangun sejak kanak-kanak dan Josh memandang post factual politic dari kaca mata jurnalistik.


Penjelasan materi diskusi tentang post factual politics adalah sebagai berikut. 


Apa itu post factual politics


Fenomena post factul politics menjadi hal yang ramai diperbincangkan seiring dengan kemenangan Donald Trump sebagai predisen US di bulan November 2016 silam.  Pada tahun yang sama juga disahkan referendum keluarnya Inggris dari uni Eropa yang dikenal dengan sebutan Brexit (British Exit).  Apa yang salah dari proses pemilihan predisen US?  Selama proses kampanye presien, Donald Trump menggunakan cara kampanye yang mengedepankan prasangka, perasaan yang tidak berdasar pada fakta, bahkan kebohongan-kebohongan yang berbuntut masalah kebencian ras dan agama.  Pernyataan Donald Trump pemicu kebencian ras dan agama dengan menyebutkan imigran menimbulkan banyak masalah, mantan presiden Barack Obama sebagai seorang muslim dll.  


Valverade (2017) dari laman Politifact.com mengutip pernyataan senator Durbin yang memberi bantahan bahwa imigran di Amerika pun berjasa salah satunya membela negara sebagai bagian dari angkatan bersenjata US.  Bahkan laman The Economist menyebut Donald Trump sebagai “the lies of man”. Sebagai manusia rasional, mempunyai tingkat ekonomi dan pendidikan tinggi ada sesuatu yang tidak wajar dengan terpilihnya seorang pembohong sebagai pemimping negara adi kuasa seperti Amerika Serikat.  Presiden Amerika dipilih dengan pemungutan suara, dengan begitu rakyat Amerika memilih pemimpin mereka dengan sadar.  Dan apakah rakyat Amerika sudah sedemikian tidak rasional sehingga memilih seorang pemimpin yang pembohong?  Bahwa seakan-akan kebenaran sudah tidak ada lagi.  Manusia hanyut dalam kebohongan dan tidak ada tempat lagi untuk berpegang pada kebenaran.  


Kondisi dimana kebohongan sebagai pemenang mengalahkan fakta dan rasionalisme disebut sebagai post factual politics


Femonema post factual politics tidak hanya terjadi saat terpilihnya Donald Trumph sebagai presiden Amerika Serikat.  Beberapa bulan sebelum November 2016 keluarlah referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa.  Pemicu keluarnya Inggris dari Uni Eropa dalah perasaan, prasangka dan emosi-emosi yang tidak mempunyai dasar fakta.  Ide Brexit diinisiasi dari koran lokal, kemudian berkembang disebarkan melalui media sosial sehingga menjadi viral.  Media sosial berhasil mengikat emosi-emosi penggunanya sehingga keluarlah referendum yang disetujui sebagain besar masyarakat Inggris (Seaman 2016).  Sumber pengingat emosi dari Brexit adalah keengganan masyarakat untuk diatur oleh orang lain.  Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, imigran sulit masuk Inggris.
        


Laman Express.co.uk menyebutkan, argumen yang diutarakan pendukung Brexit adalah Inggris mempunyai kekuasaan penuh terhadap wilayahnya seperti dalam hal keamanan dan mencegah kehadiran para imigran dari Uni Eropa.  Brexiter tidak setuju dengan sistem satu pasar, satu mata uang yang demikian juga akan terjadi kebebasan bergerak dan berpindah tempat bagi orang-orang, khususnya datang dan menetap di Inggris.  


Pekerja migran dan tenaga kesehatan yang kemungkinan akan banyak datang ke Inggris.  Dengan keluarnya Inggris dari EU juga memudahkan untuk mencegah kriminal lintas kawasan dan terorisme.  Brexiter berharap, Inggris akan kembali mencapai kejayaaan seperti masa silam.  Hal ini dibantah oleh fihak yang tidak setuju Brexit bahwa, dengan Inggris mengisolasi diri, saat ada keputusan penting tentang dunia, Inggris sedang tidak ada di ruangan.  Hal yang berkebalikan pasti akan dijumpai yaitu pekerja dari Inggris akan kesulitan bekerja dan bepergian ke luar negeri.
            

Keputusan tentang Brexit terlalu didominasi oleh emosi, yang tidak mendengarkan analisis para ahli tentang adanya fakta akan adanya keguncangan ekonomi global, ketidak stabilan ilmu dan keuangan.  52% pemilih, dengan tingkat literasi tinggi, informasi yang semakin terbuka dengan kecepatan tinggi, seakan tidak mempedulikan fakta, banyak hal negatif akan terjadi jika mereka keluar dari uni Eropa.


Fenomena besar terpilihnya Donald Trump dan Brexit di tahun 2016, sehingga orang menyebutnya sebagai era dimulainya post-truth atau post factual politics.  Post truth pernah juga terjadi 30 tahun lalu ketika presiden Amerika Ronald Reagan mengadakan serangan ke Iran.  Ronald Reagan tanpa merasa malu mengakui dan meminta maaf, dengan mengeluarkan pernyataan, “ Hati saya dan perhatian tetap mengatakan bahwa serangan ke Iran adalah sebuah kebenaran, tetapi fakta menyatakan alasan penyerangan tersebut tidak tepat atau salah.” (Mantzarlis 2016).  Sekali lagi, yang patut digaris bawahi bahwa suatu kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah hanya berdasarkan perasaan, prasangka dan tanpa dilakukan pengecekan kejadian serta fakta yang sesungguhnya
                                                                                                              

Efidence base policy
Dr. Adam sebagai seorang scientist menekankan bahwa dalam pembuatan keputusan science harus berdasarkan pada kejadian.  Pencarian suatu penyelesaian science biasanya berdasarkan pada adanya masalah atau kejadian.  Hipotesa dan metode disusun untuk menjelaskan apa dan bagaimana masalah tersebut.  Hasil penyelesaian suatu masalah dapat diulang oleh orang berbeda, tempat dan waktu yang berbeda.  Seharusnya kebiasaan sebagai seorang scientist untuk melihat latar belakang suatu permasalahan dijadikan juga sebagai ‘habit’ kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga keputusan-keputusan berdimensi sosial pun harusnya ditelusur terlebih dahulu duduk permasalahan, ditelisik fakta dan kejadian yang mendasarinya baru dibuat suatu keputusan rasional, dengan tidak mengedepankan emosi tentunya.



Fact checking

Prof. Frank Furedi juga mengungkapkan perlunya fact checking atau pengecekan suatu fakta terhadap suatu permasalahan.  Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan, terbukanya akses informasi, mudahnya peralatan komunikasi seharusnya menelusuri suatu fakta bukan yang menyulitkan.  Apa sebenarnya perbedaan antara mengungkapkan kebenaran dan bohong?  Melihat fenomena masyarakat sekarang ini siapa yang memonopoli “kebenaran” dalam tanda kutip bisa jadi yang dianggap kebenaran adalah suatu kebohongan.  Komponen dalam masyarakat yang semakin berkembang saat ini dipengaruhi oleh media massa, saintis dan elit masyarakat termasuk politisi.  Adanya pengaruh media massa memberikan argumentasi, menampilkan berita, menayangkan pemberitaan terhadap suatu hal terus-menerus dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat.  Misalnya Donald Trump mendapatkan tempat dan kepercayaan oleh masyarakat Georgia, sedangkan rakyat dari negara bagian Amerika yang lain menganggap Donald Trump seorang pembohong. 



Di jaman modern seperti sekarang, peranan seorang ahli mendapatkan tempat untuk didengarkan pendapatnya sesuai kapasitas dan keahlian.  Menurut Prof.  Frank, mengapa terdapat perbedaan pendapat antar masyarakat tersebut adalah cara melihat suatu fakta di lapangan.  Fakta yang ada terkadang sulit dimengerti dan difahami.  Fakta harus diterjemahkan, dinterprestasikan oleh para ahli.  Terkadang fakta yang ada di masyarakat tidak dijelaskan oleh orang yang ahli politik, tapi ahli yang lain seperti biologi, ekonomi dan saintis lain. 


Dengan bahasa sederhana, terkadang fakta tidak dijelaskan oleh seorang ahli sesuai kapasitasnya.  Hasil menerjemahkan suatu fakta menjadi hal yang bisa jadi dianggap benar oleh masyarat A dan tidak oleh kelompok lain. Dalam berpendapat para ahli ini menambahkan unsur opini, kebebasan berdemokrasi untuk mengungkapkan pendapat dan nilai-nilai yang dianut masyarakat.  Sehingga dalam mengungkapkan fakta perlu dibedakan antara “fact vs thruth” atau fakta dengan kebenaran.  Fakta dan kebenaran adalah suatu hal berbeda, yang sering kali tertukar pengertiannya.  Fakta bukanlah suatu kebenaran, sedangkan kebenaran adalah lebih mendekati fakta itu sendiri.



Menelusuri suatu fakta (fact checking) terkadang menjadi hal yang sulit.  Pernyataan fakta itu sendiri dikeluarkan berdasarkan nilai yang dianut, nilai-nilai partai Republik tentu berbeda dengan nilai yang dianut partai Demokrat.  Terkadang untuk satu fakta akan ada 2 nilai yang saling berbenturan. Fakta berbeda tergantung makna yang diberikan kepadanya.  Jika makna yang diberikan salah maka interprestasi fakta pun menjadi salah. Sehingga yang ada di masyarakat, tidak akan tersedia fakta tetapi yang tersedia adalah nilai.  Adalah suatu yang hebat jika ahli dapat menjelaskan kejadian fakta berdasarkan nilai-nilai kebenaran.



Untuk kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau dikenal sebagai Brexit, para ekonomis sudah memberikan prakiraan dampak yang akan terjadi.  Menurut Prof Frank, tidak akan mempedulikan pendapat yang dikeluarkan oleh ahli tersebut sesuai yang diuraikan pada penjelasan sebelumnya.  Bahwa fakta yang dikeluarkan ahli itu tergantung sudut padang, interprestasi dan nilai-nilai yang dianut.  


Yang menjadi kekawatiran Prof. Frank jika kedutaan sebagai pintu gerbang pertama masuknya imigran ke Inggris ikut berbohong.  Kedutaan mempunyai kapasitas kewenangan yang besar.  Kedutaan bertanggung jawab terhadap semua hal yang menyangkut hajat hidup imigran seperti pekerjaan, rumah, pendidikan dll.  Prof. Frank sendiri yang berasal dari Polandia, disaat itu banyak imigran dari Bulgaria dan juga Poland pergi ke luar negeri untuk mendapatkan penghidupan lebih baik.  Ada lebih sedikit imigran  yang masuk ke Inggris dibangingkan yang pergi ke negara Eropa lain.



Sebagai kesimpulan, bahwa pengalaman manusia itu berdasarkan pada filosofi, politik dan nilai.  Sehurusnya yang mendapatkan termpat tertinggi adalah moral dan nilai kebenaran.  Nilai ini tidak akan didapat dari science atau ilmu pengetahuan.  Science mempunyai pendekatan berbeda dengan ilmu sosial.  Sehingga menurut Prof. Frank science tidak dapat dicampurkan dengan politik.


Appeal emotion is a human condition (Pengeluaran emosi adalah kondisi normal manusia)
            
Prof Neena Modi berpendapat post factual politics atau kebohongan sebagai pemenang mengalahkan fakta dan rasionalisme disebut sebagai suatu hal yang tidak masuk akal dan tidak berguna.  Post factual politics adalah kultur yang dibangun atas dasar emosi.  Post factual politics mendatangkan perdebatan.  Kelompok satu menyerang sebagai suatu yang tidak benar sedangkan kelompok masyarakat lain menganggap suatu norma yang sudah sepatutnya.


Budaya sebagai dasar bermasyarakat dibangun di atas landasan emosi.  Emosi adalah ungkapan perasaan dari lubuk hati terdalam, sebagai kondisi lumrah manusia.  Keabsahan emosi dengan dukungan argumen bisa menjadi suatu yang dapat diterima, contoh nyata adalah agama.  Agama menurut Prof.  Neena sebagai sesuatu hal yang mendasar, yang berhubungan dengan keyakinan, emosi manusia.  Terkadang agama tidak logis dan tidak harus dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan.  Jika seseorang sudah nyaman dengan agamanya, tentu saja hal yang boleh.  Yang tidak boleh adalah jika norma agama menyimpang kemudian terjadi pemaksaan di masyarakat.



Problem yang mendasari post factual politics adalah seseorang mempunyai emosi besar kemudian dikeluarkan ke masyarakat.  Emosi ini kemudian mempengaruhi orang-orang sehingga membentuk suatu kelompok.  Adanya dukungan politik kemudian emosi ini dikaitkan dengan ideologi, tentu saja ideologi buruk seperti genosida (pembunuhan suatu ras) adalah sesuatu yang aneh menurut prof Neena.  Seharusnya emosi sebagai kondisi normal manusia mempunyai integritas, berperangai dan bertingkah laku baik dalam semua sisi kehidupan seperti hukum, ilmu pengetahuan, politik dll.



Jurnalism

Josh Lowe sebagai reporter di chanel Newsweek memberikan pendapat mengenai post factual politics berdasarkan sudut pandang jurnalistik.  Josh merasakan ketidak nyamanan hidup dalam suasana post factual politics.  Fakta dapat beredar bebas di tengah publik, dan yang terparah adalah adanya pengurangan atau rekayasa fakta.  Jika ditelusuri post factual politics terjadi juga sebelum tahun 2016, misalnya tahun 1967 ketika perdana menteri Harold Wilson mengeluarkan kebijakan devaluasi (penurunan mata uang) pound, kejadian perang dingin 2 ke 1 dsb.  



Kondisi post factual politics masih tetap terjadi hingga saat ini.  Boleh dikatakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan berperilaku seperti anak-anak.  Politisi sebagai agen pemerintah mempunyai kebebasan penuh memaksakan cerita.  Tentu saja informasi dapat tersebar luas dan mampu mempengaruhi opini masyarakat didukung oleh peran mass media.  Media dengan dukungan dana dapat berperan untuk melanggengkan hagemoni elit yang berkuasa.


Sambrook (2012) memberikan penjelasan bagaimana seharusnya media masa bersikap terhadap fenomena post factual politics yang berkembang saat ini. Pertanyaan mengenai kebenaran, kepercayaan, prasangka, sikap berat sebelah, dan verifikasi suatu berita belakang ini meningkat dalam ranah komunikasi publik.  Berbagai pertanyaan tersebut menjadi hal penting dalam era kebebasan media digital sekarang ini.  


Media sebagai saluran informasi pertama ke masyarakat mendapatkan sorotan tajam karena dipandang bersikap berat sebelah, tidak mengungkap kebenaran dsb.  Media dianggap mengingkari asas dasar sebagai penyalur berita yang berkeadilan dan objektif.  Berkadilan (impartiality) berhubungan dengan tidak adanya prasangka dan objektif berkaitan dengan identifikasi fakta dan kejadian.


Dewasa ini, melalui sosial media seperti Tweeter; Instagram; Facebook; Snap Chat; Blog dll memberikan kebebasan publik untuk berdebat.  Bagaiman seharusnya regulasi dan kode prefesional?  Masih menurut Sambrook (2012) kebingunan massa akan berbagai perdebatan, tetap memberikan pengharapan akan media yang dapat dipercaya.  Bagi orang awam sulit untuk melihat perbedaan argumentasi yang terlihat objective dan benar atas dasr ideologi, kepentingan dan emosi.  Media adalah penterjemah kebijakan untuk masyarakat.  Media dan politisi sebagai sumber informasi seharusnya mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keadilan dan kejujuran, masyarakat juga bertanggung jawab atas debat yang disampaikan.


Thinking at base efident

Diantara panelist ada pertentangan keutamaan fack checking dalam suatu pengambilan keputusan.  Prof Frank dan Prof. Neena berpendapat bahwa fack cheking tidak dapat dipegang sebagai dasar pengambilan keputusan karena fakta yang diutarakan para ahli juga didasari motive dan kepentingan, sedangkan Dr. Adam dan Josh sebagai saintis, akademisi dan wartawan fack checking adalah sumber pengambilan keputusan.  Sebagai seorang saintis Adam terbiasa melakukan metode ilmiah untuk mengkaji suatu permasalahan, sehingga hasil kajian ilmiah dapat dipegang dasar kebenarannya.  Prof. Frank memandang dari sudut sosial, dimana metode pengambilan data sosial berbeda dengan data eksak sain.  Tetapi keempat panelis ada kesamaan bahwa semua hal harus bermuara pada kebenaran.


Ada yang salah dengan orang-orang?  Mengapa mereka mengingkari fakta?  Mengapa mereka terlalu mengedepankan emosi? Yang dapat dilakukan adalah melatih anak-anak sejak dini di sekolah untuk berfikir berdasarkan kejadian.  Anak-anak harus mempunyai daya nalar kritis, mempertanyakan sesuatu sehingga jika ada suatu kejadian dapat dianalisis dari segala hal, apa yang mendasari, mengapa terjadi, apa dampak setelahnya, bagaimana solusinya dsb.  


Sebagai latihan di sekolah, bahan ajar diberikan tidak hanya untuk dihafalkan tetapi perlu latihan menganalisis, membuat pertanyaan, menanyakan, mengkritisi, mencari solusi dari suatu materi pelajaran.  Anak-anak harus diajarkan untuk berfikir logis.  Anak-anak dilatih tidak untuk mencari kebenaran absolut tetapi mengurangi ketidak aturan yang terjadi.  Suatu ketika kumpulan informasi yang didapatkan akan menjadi hal yang dapat dibuktikan serta tidak terbantahkan lagi.


Longino (2002) menyatakan bahwa tingkatan dari suatu fakta adalah 3 yaitu: content, knowing, knowledge-productive practices. Content adalah suatu bentuk kebenaran yang di yakini oleh individu atau oleh sekelompok tertentu saja.  Knowing adalah jika ada kondisi dimana S diterima jika P.  P adalah suatu bentuk kebenaran.  P diterima oleh C. S diterima baik oleh P dan C.  Knowledge-productive practices adalah proses yang membuat permanen suatu keyakinan atau content yang diterima oleh banyak komunitas.
           

Kondisi di Indonesia

Pada dasarnya apa yang diutarakan di atas, tentang pengambilan suatu keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak hanya berdasarkan emosi yang meluap juga terjadi di tanah air.  Pada pemilihan presiden dengan kandidat Jokowi dan Prabowo, keputusan yang penulis buat untuk memilih presiden dipengaruhi oleh sosial media.  Teknologi internet dan kecanggihan handphone sehingga berita di sosial media begitu mudah dibaca dari genggaman tangan.  


Setiap berita baik bernuansa negatif, menceritakan keburukan calon presiden dan muatan promosi sangat menentukan calon mana yang dipilih.  Ketidaktahuan penulis akan latar belakang calon presiden sehingga pendasaran pilihan hanya dari media massa dan sosial media.  Media massa mainstream cenderung memberitakan calon presiden secara proporsional.  Sedangkan pemberitaan dari sosial media seperti Tweeter dan Facebook, yang melibatkan emosi, dan itu yang penulis rasa sebagai faktor utama motive memilih presiden Indonesia.


Peran sosial media sebagai pengikat emosi memang benar adanya.  Seyogyanya sebagai seorang yang diberi kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, berfikir ulang jika membaca berita yang tanda kutip tidak jelas dari mana sumbernya.  Sebagai manusia ingin keberadaan dilingkungan, pun juga di dunia maya, diakui dan diperhatikan kehadirannya.  Dengan men’share’ berita yang didapat, walau tidak jelas sumbernya, merasa ada andil menyebarkan informasi yang menurut hematnya bermanfaat.  Ada rasa sumbang sih yang dapat diberikan pada teman-teman mayanya.  



Dari sudut teori Logino (2012), segi kemanfaatan berita bersifat content, hanya diterima oleh dirinya atau diakui hanya oleh kelompoknya saja.  Sebagai seorang yang terbiasa menulis publikasi ilmiah, skripsi, ataupun tesis, setiap kutipan narasi wajib mencantumkan sumber pustakanya.  Pustaka ini sebagai penguat bahwa rujukan yang diambil mempunyai tingkat kepercayaan tinggi.  Orang lain yang membaca publikasi pun dapat mengecek sumber berita yang dirujuk.  Sesuatu dilakukan berdasarkan rujukan, ada cek dan ricek sehingga sudah sepatutnya kebiasaan ilmiah tersebut menjadi sifat yang melekat.  Berita dari Facebook ditelusur ulang sumber rujukan, disharing dan mungkin tidak perlu disebarluaskan.



Berfikir kritis sedini mungkin dari tingkat pendidikan dasar.  Mungkin ada harapan ke arah sana.  Di beberapa sekolah mulai memberlakukan kurikulum 13.  Presentasi terhadap materi pelajaran sering dilakukan untuk menambah daya nalar kritis dari siswa.  Hanya saja kurikulum 13 ini belum merata dan bahkan hanya beberapa sekolah saja yang sudah siap saranan dan prasarananya.  Peran orang tua yang diperlukan untuk membentuk kharakter anak.  Anak diajak berbicara, mendiskusikan suatu permasalahan, diajak memecahkan persoalan walaupun hanya hal yang sederhana, mungkin bisa membantu meningkatkan daya berfikir kritis.  Kehidupan yang seimbang antara agama, bermain, belajar, membaca bacaan lain akan memperkaya dinamika anak.



Sebagai penutup menyikapi fenomena post factual politics, bersikap kritis; mempertanyakan sesuatu; menelusur kembali sumber berita; tidak mudah terpofokasi dan tersulut emosi; menjadi pribadi yang selalu mengedepankan kejujuran dari lubuk hati paling dalam untuk kemaslahatan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


-end-

Sumber Pustaka
Express. 2016.  What will happen to immigration when Britain leave the EU? Express.co.uk/news/politics/645667/Brexit-EU-European Union-referendum.[diakses 13 Januari 2017].
Longino HE.  2002.  The Fate of Knowledge.  Princeton University Press: USA.
Mantzarlis A.  2016.  No, we are not in post-fact era.  www. Poynter.org/2016/no-we are-not-in-a-post-fact-era/421582.
Sambrook. R. 2012 Delivering trust: impartiality and objectivity in the digital age.  Reuters Institute for the Study of Journalism.
Seaman A.  2016.  Post-factual politics and the future of journalism.  Institute of Ideas. Com.
The Economist.  2016.  Art of the lie.  www.eonomist.com [diakses 5 Januari 2017].
Valverde M. 2017. Jeff sessions objected to immigrants in armed forces, senator Durbin says. http://www.politifact.com/truth-o-meter/statements/2017/jan/10/richard-durbin/durbin-says-sessions-objected-immigrants-armed-for/ [diakses 11 Januari 2017]


0 comments:

Post a Comment