Post Factual Politics
Sat
Rahayuwati/ENT/A361160041
Pendahuluan
Narasi tentang post factual politics yang diuraikan
dalam naskah berikut sebagian besar bersumber dari diskusi Battle of Idea 2016 dengan judul
“What is the truth about
post-factual politics?”. Diskusi tersebut dapat diakses dari laman
Youtube https://www.youtube.com/watch?v=B_g1hzz06do. Moderator diskusi adalah Claire Fox sebagai
direktur Institute of Ideas. Panelist
diskusi ada 4 orang yaitu
- · Prof. Neena Modi dari neonatal medicine Imperial College London
- · Prof. Frank Furedi, sebagai sosiologist dan komentator masalah sosial
- · Dr. Adam Rotherford, bidang keahlian geneticist, penulis sain sekaligus penyiar radio BBC London.
- · Josh Lowe, reporter politik Eropa di chanel Newsweek
Panelist
menerangkan apa itu, bagaimana dan solusi tentang fenomena post factual
politics dari sudut keahlian masing-masing.
Pembicara pertama adalah Dr. Adam yang mengangkat topik kemudian
dikaitkan dengan sudut pandangnya sebagai scientist. Prof. Frank menerangkan fenomena dari sudut
pandang seorang sosiologit. Prof. Neena
menggaris bahawi berfikir kritis harus dibangun sejak kanak-kanak dan Josh
memandang post factual politic dari kaca mata jurnalistik.
Penjelasan
materi diskusi tentang post factual politics
adalah sebagai berikut.
Apa
itu post factual politics
Fenomena
post factul politics menjadi hal yang
ramai diperbincangkan seiring dengan kemenangan Donald Trump sebagai predisen
US di bulan November 2016 silam. Pada tahun yang sama juga disahkan referendum
keluarnya Inggris dari uni Eropa yang dikenal dengan sebutan Brexit (British
Exit). Apa yang salah dari proses pemilihan
predisen US? Selama proses kampanye
presien, Donald Trump menggunakan cara kampanye yang mengedepankan prasangka, perasaan
yang tidak berdasar pada fakta, bahkan kebohongan-kebohongan yang berbuntut
masalah kebencian ras dan agama.
Pernyataan Donald Trump pemicu kebencian ras dan agama dengan
menyebutkan imigran menimbulkan banyak masalah, mantan presiden Barack Obama
sebagai seorang muslim dll.
Valverade
(2017) dari laman Politifact.com mengutip pernyataan senator Durbin yang
memberi bantahan bahwa imigran di Amerika pun berjasa salah satunya membela
negara sebagai bagian dari angkatan bersenjata US. Bahkan laman The Economist
menyebut Donald Trump sebagai “the lies
of man”. Sebagai manusia rasional, mempunyai tingkat ekonomi dan pendidikan
tinggi ada sesuatu yang tidak wajar dengan terpilihnya seorang pembohong
sebagai pemimping negara adi kuasa seperti Amerika Serikat. Presiden Amerika dipilih dengan pemungutan
suara, dengan begitu rakyat Amerika memilih pemimpin mereka dengan sadar. Dan apakah rakyat Amerika sudah sedemikian
tidak rasional sehingga memilih seorang pemimpin yang pembohong? Bahwa seakan-akan kebenaran sudah tidak ada
lagi. Manusia hanyut dalam kebohongan
dan tidak ada tempat lagi untuk berpegang pada kebenaran.
Kondisi
dimana kebohongan sebagai pemenang mengalahkan fakta dan rasionalisme disebut
sebagai post factual politics
Femonema
post factual politics tidak hanya
terjadi saat terpilihnya Donald Trumph sebagai presiden Amerika Serikat. Beberapa bulan sebelum November 2016
keluarlah referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Pemicu keluarnya Inggris dari Uni Eropa dalah
perasaan, prasangka dan emosi-emosi yang tidak mempunyai dasar fakta. Ide Brexit diinisiasi dari koran lokal,
kemudian berkembang disebarkan melalui media sosial sehingga menjadi
viral. Media sosial berhasil mengikat
emosi-emosi penggunanya sehingga keluarlah referendum yang disetujui sebagain
besar masyarakat Inggris (Seaman 2016).
Sumber pengingat emosi dari Brexit adalah keengganan masyarakat untuk
diatur oleh orang lain. Dengan keluarnya
Inggris dari Uni Eropa, imigran sulit masuk Inggris.
Laman
Express.co.uk menyebutkan, argumen yang diutarakan pendukung Brexit adalah
Inggris mempunyai kekuasaan penuh terhadap wilayahnya seperti dalam hal
keamanan dan mencegah kehadiran para imigran dari Uni Eropa. Brexiter tidak setuju dengan sistem satu
pasar, satu mata uang yang demikian juga akan terjadi kebebasan bergerak dan
berpindah tempat bagi orang-orang, khususnya datang dan menetap di
Inggris.
Pekerja migran dan tenaga
kesehatan yang kemungkinan akan banyak datang ke Inggris. Dengan keluarnya Inggris dari EU juga
memudahkan untuk mencegah kriminal lintas kawasan dan terorisme. Brexiter berharap, Inggris akan kembali
mencapai kejayaaan seperti masa silam.
Hal ini dibantah oleh fihak yang tidak setuju Brexit bahwa, dengan
Inggris mengisolasi diri, saat ada keputusan penting tentang dunia, Inggris
sedang tidak ada di ruangan. Hal yang
berkebalikan pasti akan dijumpai yaitu pekerja dari Inggris akan kesulitan
bekerja dan bepergian ke luar negeri.
Keputusan
tentang Brexit terlalu didominasi oleh emosi, yang tidak mendengarkan analisis
para ahli tentang adanya fakta akan adanya keguncangan ekonomi global, ketidak
stabilan ilmu dan keuangan. 52% pemilih,
dengan tingkat literasi tinggi, informasi yang semakin terbuka dengan kecepatan
tinggi, seakan tidak mempedulikan fakta, banyak hal negatif akan terjadi jika
mereka keluar dari uni Eropa.
Fenomena
besar terpilihnya Donald Trump dan Brexit di tahun 2016, sehingga orang
menyebutnya sebagai era dimulainya post-truth
atau post factual politics. Post truth pernah juga terjadi 30 tahun
lalu ketika presiden Amerika Ronald Reagan mengadakan serangan ke Iran. Ronald Reagan tanpa merasa malu mengakui dan
meminta maaf, dengan mengeluarkan pernyataan, “ Hati saya dan perhatian tetap
mengatakan bahwa serangan ke Iran adalah sebuah kebenaran, tetapi fakta
menyatakan alasan penyerangan tersebut tidak tepat atau salah.” (Mantzarlis
2016). Sekali lagi, yang patut digaris
bawahi bahwa suatu kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah hanya berdasarkan
perasaan, prasangka dan tanpa dilakukan pengecekan kejadian serta fakta yang
sesungguhnya
Efidence base policy
Dr. Adam sebagai
seorang scientist menekankan bahwa dalam pembuatan keputusan science harus
berdasarkan pada kejadian. Pencarian
suatu penyelesaian science biasanya berdasarkan pada adanya masalah atau
kejadian. Hipotesa dan metode disusun
untuk menjelaskan apa dan bagaimana masalah tersebut. Hasil penyelesaian suatu masalah dapat
diulang oleh orang berbeda, tempat dan waktu yang berbeda. Seharusnya kebiasaan sebagai seorang
scientist untuk melihat latar belakang suatu permasalahan dijadikan juga
sebagai ‘habit’ kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
keputusan-keputusan berdimensi sosial pun harusnya ditelusur terlebih dahulu
duduk permasalahan, ditelisik fakta dan kejadian yang mendasarinya baru dibuat
suatu keputusan rasional, dengan tidak mengedepankan emosi tentunya.
Fact checking
Prof. Frank
Furedi juga mengungkapkan perlunya fact
checking atau pengecekan suatu fakta terhadap suatu permasalahan. Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan,
terbukanya akses informasi, mudahnya peralatan komunikasi seharusnya menelusuri
suatu fakta bukan yang menyulitkan. Apa
sebenarnya perbedaan antara mengungkapkan kebenaran dan bohong? Melihat fenomena masyarakat sekarang ini
siapa yang memonopoli “kebenaran” dalam tanda kutip bisa jadi yang dianggap
kebenaran adalah suatu kebohongan.
Komponen dalam masyarakat yang semakin berkembang saat ini dipengaruhi
oleh media massa, saintis dan elit masyarakat termasuk politisi. Adanya pengaruh media massa memberikan
argumentasi, menampilkan berita, menayangkan pemberitaan terhadap suatu hal
terus-menerus dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Misalnya Donald Trump mendapatkan tempat dan
kepercayaan oleh masyarakat Georgia, sedangkan rakyat dari negara bagian
Amerika yang lain menganggap Donald Trump seorang pembohong.
Di
jaman modern seperti sekarang, peranan seorang ahli mendapatkan tempat untuk
didengarkan pendapatnya sesuai kapasitas dan keahlian. Menurut Prof.
Frank, mengapa terdapat perbedaan pendapat antar masyarakat tersebut
adalah cara melihat suatu fakta di lapangan.
Fakta yang ada terkadang sulit dimengerti dan difahami. Fakta harus diterjemahkan, dinterprestasikan
oleh para ahli. Terkadang fakta yang ada
di masyarakat tidak dijelaskan oleh orang yang ahli politik, tapi ahli yang
lain seperti biologi, ekonomi dan saintis lain.
Dengan bahasa sederhana,
terkadang fakta tidak dijelaskan oleh seorang ahli sesuai kapasitasnya. Hasil menerjemahkan suatu fakta menjadi hal
yang bisa jadi dianggap benar oleh masyarat A dan tidak oleh kelompok lain.
Dalam berpendapat para ahli ini menambahkan unsur opini, kebebasan berdemokrasi
untuk mengungkapkan pendapat dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Sehingga dalam mengungkapkan fakta perlu
dibedakan antara “fact vs thruth” atau fakta dengan kebenaran. Fakta dan kebenaran adalah suatu hal berbeda,
yang sering kali tertukar pengertiannya.
Fakta bukanlah suatu kebenaran, sedangkan kebenaran adalah lebih
mendekati fakta itu sendiri.
Menelusuri
suatu fakta (fact checking) terkadang
menjadi hal yang sulit. Pernyataan fakta
itu sendiri dikeluarkan berdasarkan nilai yang dianut, nilai-nilai partai
Republik tentu berbeda dengan nilai yang dianut partai Demokrat. Terkadang untuk satu fakta akan ada 2 nilai
yang saling berbenturan. Fakta berbeda tergantung makna yang diberikan
kepadanya. Jika makna yang diberikan
salah maka interprestasi fakta pun menjadi salah. Sehingga yang ada di
masyarakat, tidak akan tersedia fakta tetapi yang tersedia adalah nilai. Adalah suatu yang hebat jika ahli dapat
menjelaskan kejadian fakta berdasarkan nilai-nilai kebenaran.
Untuk
kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau dikenal sebagai Brexit, para
ekonomis sudah memberikan prakiraan dampak yang akan terjadi. Menurut Prof Frank, tidak akan mempedulikan
pendapat yang dikeluarkan oleh ahli tersebut sesuai yang diuraikan pada
penjelasan sebelumnya. Bahwa fakta yang
dikeluarkan ahli itu tergantung sudut padang, interprestasi dan nilai-nilai
yang dianut.
Yang menjadi kekawatiran
Prof. Frank jika kedutaan sebagai pintu gerbang pertama masuknya imigran ke
Inggris ikut berbohong. Kedutaan
mempunyai kapasitas kewenangan yang besar.
Kedutaan bertanggung jawab terhadap semua hal yang menyangkut hajat
hidup imigran seperti pekerjaan, rumah, pendidikan dll. Prof. Frank sendiri yang berasal dari
Polandia, disaat itu banyak imigran dari Bulgaria dan juga Poland pergi ke luar
negeri untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Ada lebih sedikit imigran yang masuk ke Inggris dibangingkan yang pergi
ke negara Eropa lain.
Sebagai
kesimpulan, bahwa pengalaman manusia itu berdasarkan pada filosofi, politik dan
nilai. Sehurusnya yang mendapatkan
termpat tertinggi adalah moral dan nilai kebenaran. Nilai ini tidak akan didapat dari science
atau ilmu pengetahuan. Science mempunyai
pendekatan berbeda dengan ilmu sosial.
Sehingga menurut Prof. Frank science tidak dapat dicampurkan dengan
politik.
Appeal
emotion is a human condition (Pengeluaran
emosi adalah kondisi normal manusia)
Prof
Neena Modi berpendapat post factual
politics atau kebohongan sebagai pemenang mengalahkan fakta dan
rasionalisme disebut sebagai suatu hal yang tidak masuk akal dan tidak berguna. Post
factual politics adalah kultur yang dibangun atas dasar emosi. Post
factual politics mendatangkan perdebatan. Kelompok satu menyerang sebagai
suatu yang tidak benar sedangkan kelompok masyarakat lain menganggap suatu
norma yang sudah sepatutnya.
Budaya
sebagai dasar bermasyarakat dibangun di atas landasan emosi. Emosi adalah ungkapan perasaan dari lubuk
hati terdalam, sebagai kondisi lumrah manusia.
Keabsahan emosi dengan dukungan argumen bisa menjadi suatu yang dapat
diterima, contoh nyata adalah agama.
Agama menurut Prof. Neena sebagai
sesuatu hal yang mendasar, yang berhubungan dengan keyakinan, emosi
manusia. Terkadang agama tidak logis dan
tidak harus dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Jika seseorang sudah nyaman dengan agamanya,
tentu saja hal yang boleh. Yang tidak
boleh adalah jika norma agama menyimpang kemudian terjadi pemaksaan di
masyarakat.
Problem
yang mendasari post factual politics adalah
seseorang mempunyai emosi besar kemudian dikeluarkan ke masyarakat. Emosi ini kemudian mempengaruhi orang-orang
sehingga membentuk suatu kelompok.
Adanya dukungan politik kemudian emosi ini dikaitkan dengan ideologi,
tentu saja ideologi buruk seperti genosida (pembunuhan suatu ras) adalah
sesuatu yang aneh menurut prof Neena.
Seharusnya emosi sebagai kondisi normal manusia mempunyai integritas,
berperangai dan bertingkah laku baik dalam semua sisi kehidupan seperti hukum,
ilmu pengetahuan, politik dll.
Jurnalism
Josh
Lowe sebagai reporter di chanel Newsweek memberikan pendapat mengenai post factual politics berdasarkan sudut
pandang jurnalistik. Josh merasakan
ketidak nyamanan hidup dalam suasana post
factual politics. Fakta dapat
beredar bebas di tengah publik, dan yang terparah adalah adanya pengurangan
atau rekayasa fakta. Jika ditelusuri post factual politics terjadi juga
sebelum tahun 2016, misalnya tahun 1967 ketika perdana menteri Harold Wilson
mengeluarkan kebijakan devaluasi (penurunan mata uang) pound, kejadian perang
dingin 2 ke 1 dsb.
Kondisi post factual politics masih tetap
terjadi hingga saat ini. Boleh dikatakan
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan berperilaku seperti
anak-anak. Politisi sebagai agen
pemerintah mempunyai kebebasan penuh memaksakan cerita. Tentu saja informasi dapat tersebar luas dan
mampu mempengaruhi opini masyarakat didukung oleh peran mass media. Media dengan dukungan dana dapat berperan
untuk melanggengkan hagemoni elit yang berkuasa.
Sambrook
(2012) memberikan penjelasan bagaimana seharusnya media masa bersikap terhadap
fenomena post factual politics yang
berkembang saat ini. Pertanyaan mengenai
kebenaran, kepercayaan, prasangka, sikap berat sebelah, dan verifikasi suatu
berita belakang ini meningkat dalam ranah komunikasi publik. Berbagai pertanyaan tersebut menjadi hal
penting dalam era kebebasan media digital sekarang ini.
Media sebagai saluran informasi pertama ke
masyarakat mendapatkan sorotan tajam karena dipandang bersikap berat sebelah,
tidak mengungkap kebenaran dsb. Media
dianggap mengingkari asas dasar sebagai penyalur berita yang berkeadilan dan
objektif. Berkadilan (impartiality) berhubungan dengan tidak
adanya prasangka dan objektif berkaitan dengan identifikasi fakta dan kejadian.
Dewasa
ini, melalui sosial media seperti Tweeter; Instagram; Facebook; Snap Chat; Blog
dll memberikan kebebasan publik untuk berdebat.
Bagaiman seharusnya regulasi dan kode prefesional? Masih menurut Sambrook (2012) kebingunan
massa akan berbagai perdebatan, tetap memberikan pengharapan akan media yang
dapat dipercaya. Bagi orang awam sulit
untuk melihat perbedaan argumentasi yang terlihat objective dan benar atas dasr
ideologi, kepentingan dan emosi. Media
adalah penterjemah kebijakan untuk masyarakat.
Media dan politisi sebagai sumber informasi seharusnya mempunyai rasa
tanggung jawab terhadap keadilan dan kejujuran, masyarakat juga bertanggung
jawab atas debat yang disampaikan.
Thinking
at base efident
Diantara
panelist ada pertentangan keutamaan fack
checking dalam suatu pengambilan keputusan.
Prof Frank dan Prof. Neena berpendapat bahwa fack cheking tidak dapat dipegang sebagai dasar pengambilan
keputusan karena fakta yang diutarakan para ahli juga didasari motive dan
kepentingan, sedangkan Dr. Adam dan Josh sebagai saintis, akademisi dan
wartawan fack checking adalah sumber
pengambilan keputusan. Sebagai seorang
saintis Adam terbiasa melakukan metode ilmiah untuk mengkaji suatu
permasalahan, sehingga hasil kajian ilmiah dapat dipegang dasar
kebenarannya. Prof. Frank memandang dari
sudut sosial, dimana metode pengambilan data sosial berbeda dengan data eksak
sain. Tetapi keempat panelis ada
kesamaan bahwa semua hal harus bermuara pada kebenaran.
Ada
yang salah dengan orang-orang? Mengapa
mereka mengingkari fakta? Mengapa mereka
terlalu mengedepankan emosi? Yang dapat dilakukan adalah melatih anak-anak
sejak dini di sekolah untuk berfikir berdasarkan kejadian. Anak-anak harus mempunyai daya nalar kritis,
mempertanyakan sesuatu sehingga jika ada suatu kejadian dapat dianalisis dari
segala hal, apa yang mendasari, mengapa terjadi, apa dampak setelahnya,
bagaimana solusinya dsb.
Sebagai latihan
di sekolah, bahan ajar diberikan tidak hanya untuk dihafalkan tetapi perlu
latihan menganalisis, membuat pertanyaan, menanyakan, mengkritisi, mencari
solusi dari suatu materi pelajaran.
Anak-anak harus diajarkan untuk berfikir logis. Anak-anak dilatih tidak untuk mencari
kebenaran absolut tetapi mengurangi ketidak aturan yang terjadi. Suatu ketika kumpulan informasi yang
didapatkan akan menjadi hal yang dapat dibuktikan serta tidak terbantahkan
lagi.
Longino
(2002) menyatakan bahwa tingkatan dari suatu fakta adalah 3 yaitu: content, knowing, knowledge-productive
practices. Content adalah suatu
bentuk kebenaran yang di yakini oleh individu atau oleh sekelompok tertentu
saja. Knowing adalah jika ada kondisi dimana S diterima jika P. P adalah suatu bentuk kebenaran. P diterima oleh C. S diterima baik oleh P dan
C. Knowledge-productive
practices adalah proses yang membuat permanen suatu keyakinan atau content yang diterima oleh banyak
komunitas.
Kondisi
di Indonesia
Pada dasarnya
apa yang diutarakan di atas, tentang pengambilan suatu keputusan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak hanya berdasarkan emosi yang meluap juga
terjadi di tanah air. Pada pemilihan
presiden dengan kandidat Jokowi dan Prabowo, keputusan yang penulis buat untuk
memilih presiden dipengaruhi oleh sosial media.
Teknologi internet dan kecanggihan handphone sehingga berita di sosial
media begitu mudah dibaca dari genggaman tangan.
Setiap berita baik bernuansa negatif,
menceritakan keburukan calon presiden dan muatan promosi sangat menentukan
calon mana yang dipilih. Ketidaktahuan
penulis akan latar belakang calon presiden sehingga pendasaran pilihan hanya
dari media massa dan sosial media. Media
massa mainstream cenderung memberitakan calon presiden secara
proporsional. Sedangkan pemberitaan dari
sosial media seperti Tweeter dan Facebook, yang melibatkan emosi, dan itu yang
penulis rasa sebagai faktor utama motive memilih presiden Indonesia.
Peran
sosial media sebagai pengikat emosi memang benar adanya. Seyogyanya sebagai seorang yang diberi
kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, berfikir ulang jika membaca berita yang
tanda kutip tidak jelas dari mana sumbernya.
Sebagai manusia ingin keberadaan dilingkungan, pun juga di dunia maya,
diakui dan diperhatikan kehadirannya.
Dengan men’share’ berita yang didapat, walau tidak jelas sumbernya,
merasa ada andil menyebarkan informasi yang menurut hematnya bermanfaat. Ada rasa sumbang sih yang dapat diberikan
pada teman-teman mayanya.
Dari sudut
teori Logino (2012), segi kemanfaatan berita bersifat content, hanya diterima oleh dirinya atau diakui hanya oleh
kelompoknya saja. Sebagai seorang yang
terbiasa menulis publikasi ilmiah, skripsi, ataupun tesis, setiap kutipan
narasi wajib mencantumkan sumber pustakanya.
Pustaka ini sebagai penguat bahwa rujukan yang diambil mempunyai tingkat
kepercayaan tinggi. Orang lain yang
membaca publikasi pun dapat mengecek sumber berita yang dirujuk. Sesuatu dilakukan berdasarkan rujukan, ada
cek dan ricek sehingga sudah sepatutnya kebiasaan ilmiah tersebut menjadi sifat
yang melekat. Berita dari Facebook
ditelusur ulang sumber rujukan, disharing dan mungkin tidak perlu
disebarluaskan.
Berfikir
kritis sedini mungkin dari tingkat pendidikan dasar. Mungkin ada harapan ke arah sana. Di beberapa sekolah mulai memberlakukan
kurikulum 13. Presentasi terhadap materi
pelajaran sering dilakukan untuk menambah daya nalar kritis dari siswa. Hanya saja kurikulum 13 ini belum merata dan
bahkan hanya beberapa sekolah saja yang sudah siap saranan dan
prasarananya. Peran orang tua yang
diperlukan untuk membentuk kharakter anak.
Anak diajak berbicara, mendiskusikan suatu permasalahan, diajak
memecahkan persoalan walaupun hanya hal yang sederhana, mungkin bisa membantu
meningkatkan daya berfikir kritis.
Kehidupan yang seimbang antara agama, bermain, belajar, membaca bacaan
lain akan memperkaya dinamika anak.
Sebagai
penutup menyikapi fenomena post factual
politics, bersikap kritis; mempertanyakan sesuatu; menelusur kembali sumber
berita; tidak mudah terpofokasi dan tersulut emosi; menjadi pribadi yang selalu
mengedepankan kejujuran dari lubuk hati paling dalam untuk kemaslahatan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
-end-
Sumber
Pustaka
Express.
2016. What will happen to immigration
when Britain leave the EU?
Express.co.uk/news/politics/645667/Brexit-EU-European Union-referendum.[diakses
13 Januari 2017].
Longino
HE. 2002. The Fate of Knowledge. Princeton University Press: USA.
Mantzarlis
A. 2016.
No, we are not in post-fact era.
www. Poynter.org/2016/no-we are-not-in-a-post-fact-era/421582.
Sambrook.
R. 2012 Delivering trust: impartiality and objectivity in the digital age. Reuters Institute for the Study of Journalism.
Seaman
A. 2016.
Post-factual politics and the future of journalism. Institute of Ideas. Com.
The
Economist. 2016. Art of the lie. www.eonomist.com [diakses 5
Januari 2017].
Valverde
M. 2017. Jeff sessions objected to immigrants in armed forces, senator Durbin
says. http://www.politifact.com/truth-o-meter/statements/2017/jan/10/richard-durbin/durbin-says-sessions-objected-immigrants-armed-for/ [diakses 11
Januari 2017]
0 comments:
Post a Comment