Serangga
Transgenik: Apa, Bagaimana dan Contoh Aplikasi Dalam Kehidupan
A.Sejarah
Penemuan DNA Hingga Munculnya Serangga Transgenik
A.1.
Penemuan DNA
Penemuan
molekul DNA (deoxyrybonucleate acid) tahun 1953 oleh Watson dan Crick merupakan
tonggak sejarah perkembangan ilmu pengetahuan biologi molekuler. Penemuan DNA oleh Watson dan Crick tersebut adalah
proses penelitian panjang sebelumnya. Diketahui bahwa semua mahluk hidup
tersusun atas sel, dari organisme tingkat rendah bersel satu hingga organisme
tingkat tinggi seperti tumbuhan, hewan dan manusia. Tahun 1928 Frederick Griffith dan 1944 Avery
melakukan percobaan yang menyimpulkan bahwa materi genetik penyusun hereditas
adalah DNA. Percobaan yang dilakukan
adalah: tikus disuntik dengan bakteri paru-paru tidak ganas ternyata tikus
tidak mati. Tikus disuntik dengan
bakteri paru-paru ganas yang sudah dipanaskan sebelumnya, ternyata tikus tidak
mati.
Bakteri ganas yang dipanaskan
menjadi mati sehingga tidak mampu menginfeksi tikus. Bakteri tidak ganas dan bakteri ganas yang
sudah dipanaskan sebelumnya dicampur kemudian disuntikan pada tikus. Ternyata
tikus bisa mati. Setelah diperiksa pada
tubuh tikus ditemukan materi genetik bakteri ganas. Materi genetik bakteri ganas setelah
dipanaskan ternyata tidak mati, lalu masuk ke inti bakteri tidak ganas. Bakteri yang tidak ganas berubah menjadi
ganas sehingga berhasil mematikan tikus.
Materi genetik yang mampu berpindah ini memperkuat temuan bahwa asal
usul keturunan, sifat yang diwariskan dari mahluk hidup berada dalam inti sel
(Karp 2014).
Susunan
molekul tiga dimensi meteri yang diturunkan dari induk ke anak setiap organisme
hasil temuan Watson dan Crick (1953) adalah
1. Bentuk
DNA adalah utas seperti tali panjang, berpasangan, dengan orientasi cara
berpasangannya belawanan dan memutar (double helix).
2.Tali
panjang tersebut terdiri atas molekul phospat, gula pentosa dan basa nitrogen.
3. Posphat
yang berperan seperti punggung yang membuat DNA tampak seperti sebuah tali
ganda
4. DNA
tersusun atas unit tunggal disebut nukleotida terdiri atas pasangan 1 buah
phosphat, 1 buah gula pentosan dan 1 buah basa nitrogen
5. Satu
unit nukleotida tersebut saling berpasangan pada bagian basa nitrogen.
6. Basa
nitrogen DNA terdiri atas Adenin (A), Guanin (G), Citosin (C), Timin (T). Basa nitrogen tersebut saling berpasangan
tetap yaitu Adenin-Timin dan Guanin-Citosin (Watson & Crick 1953)
A.2.
Penelitian Bioteknologi
Penelitian
tentang DNA semakin banyak dilakukan.
Untuk memudahkan mempelajari sistem kerja DNA digunakan organisme
tingkat rendah yaitu bakteri Eschericia
coli. Diketahui bahwa materi genetik
E. coli berupa DNA yang tidak
diselubungi inti sel dan plasmid. Ukuran
DNA plasmid lebih pendek dibandingkan DNA utama. Tahun 1973 sudah ditemukan cara mengisolasi
dan purifikasi plasmid. Plasmid
merupakan materi genetik DNA yang bertugas membentuk resistensi terhadap
antibiotik antara lain streptomycin dan sulfonamide.
Pada tahun tersebut juga sudah diketahui
enzim yang dapat memotong utas ganda DNA yaitu restriction endonuclease EcoRI
dan EcoRII. Hasil pemotongan enzim
tersebut pada utas ganda DNA adalah ujung overlaping utas tunggal atau disebut
juga sticky end. DNA dari sumber lain yang dipotong
menggunakan EcoRI dan EcoRII juga menghasilkan ujung sticky end serupa. DNA dari
luar ini dapat bergabung dengan DNA plasmid melalui ujung sticky end akibat kerja enzim pengikat ligase, menghasilkan DNA
rekombinan baru. Rekombinan DNA ini
dapat dikerjakan secara invitro dan mampu berfungsi layaknya DNA plasmid yang
ada di dalam tubuh bakteri (Cohen et al 1973).
Bakteri
pembuat puru pada tanaman (Agrobacterium
tumefaciens dan A. rhizogenes)
menyumbangkan pengetahuan bahwa gen dapat dipindahkan dari satu organisme ke
organisme lain yang berbeda spesies.
Bakteri A. tumefaciens dan A. rhizogenes) mempunyai plasmid T-DNA
yang dapat berpindah dari bakteri ke tanaman.
T-DNA menyandikan protein yang diproduksi tanaman untuk keperluan hidup
bakteri. T-DNA yang telah disisipi gen
yang diinginkan manusia, akan masuk ke genom tanaman sehingga ekspresi sifat
yang diharapkan akan muncul, misalnya tanaman tahan hama, tanaman tahan
herbisida, buah tanaman yang tidak mudah busuk dll (Heren 2005).
A.3.
Transposable Element (TE) PiggyBacTM
Terciptanya serangga transgenik tidak
terlepas dari penelitian panjang mengenai agen pemindah gen (jumping gen). PiggyBacTM adalah nama produk gen
pemindah DNA rekombinan ke genom serangga.
PiggyBac sebagai jumping gen banyak dimanfaatkan dalam bidang rekayasa
genetika karena beberapa keuntungan: tidak berasal dari virus sehingga tidak
ada kekawatiran potensi membahayakan manusia, kapasitas membawa DNA rekombinan
besar 200 kb, DNA rekombinan yang dihasilkan stabil, PiggyBac efisien bergabung
dengan berbagai genom target (Transposagenbio.com 2016).
Penelitian
jumping gen atau transposable element (TE) pertama kali dilakukan oleh Barbara
McClintock (1902-1992) dari Cornel University.
Barbara tahun 1929 mengamati bintik-bintik warna yang terbentuk pada
biji jagung populasi indigenous Amerika Latin. Bintik pada biji jagung
disebabkan oleh mutasi dapat balik karena adanya perpindahan TE. Saat TE berada dalam gen warna ungu maka biji
jagung akan menjadi berbintik-bintik ungu.
Saat TE keluar kembali dari gen ungu maka biji jagung kembali ke warna
normal kuning. Empat puluh tahun pasca
penemuan transposable oleh Barbara, ternyata diketahui TE tidak hanya ditemukan
pada tanaman jagung tetapi ditemukan pada semua organisme (Wessler 2012).
Transposable
element adalah ruas DNA yang dapat berpindah dari satu lokasi dalam kromosom ke
ruas DNA kromosom lain suatu organisme. Transposable element merupakan untaian
DNA dengan panjang antara 700-1500 pasang basa.
Untaian DNA tersebut jika dirinci terdiri dari coding region untuk
membuat enzim dan 3 pasang basa (TAA) untuk menempel pada kromosom target
(Biology animation videos 2016).
Mekanisme
kerja jumping gen atau transposable element ada 2 macam yaitu replikatif
transposisi dan non replikatif transposisi. Mekanisme kerja replikatif
transposisi, coding region melakukan proses translasi sehingga dihasilkan
protein enzim transposase. Enzim akan
mengenali ruas DNA target pada basa TAA.
Enzim memotong pada satu titik untuk tiap-tiap utas ganda DNA
transposable element TE. Enzim juga
memotong DNA target pada satu titik untuk setiap pasangan basanya. Satu titik
pemotongan TE berpindah ke DNA target, sedangkan satu titik lain pemotongan TE
berpindah ke DNA target basa pasangannya.
Ruas DNA target melebar kemudian terjadi replikasi atau penggandaan
sehingga didapatkan 2 buah TE (Biology animation videos 2016).
Mekanisme kerja pemindahan
TE ke DNA target dengan cara non replikatif transposisi. Coding region
melakukan proses translasi sehingga dihasilkan protein enzim transposase. Enzim akan mengenali ruas DNA target pada
basa TAA. Ruas TE akan ditekuk melengkung
oleh enzim kemudian TE dipotong. Enzim
memotong DNA target langsung pada 2 titik sekaligus. Ruas TE akan menempel pada utas ganda DNA
target yang sudah terpotong. Celah yang
terbentuk setelah penempelan di isi dengan pasangan basa nitrogen komplemen
oleh enzim polimerase dan disegel oleh enzim ligase (Biology animation videos
2016).
Dalam proses
pembuatan serangga transgenik, TE ini diisi dengan DNA yang diinginkan oleh
peneliti. Misalnya TE akan disisipi
dengan gen toksin Bacillus thuringensis,
TE disisipi gen yang akan mengeskpresikan protein obat atau protein pangan
dsb. Produk TE dipasarkan dengan merk
dagang PiggiBacTM.
A.4. Aplikasi Bioteknologi
Mulai
tahun 1980-an terobosan bioteknologi sangat besar. Peneliti dapat menciptakan tanaman resisten
terhadap bahan kimia. Tahun 1987 uji
lapang terhadap tanaman hasil rekayasa genetika disetujui oleh pemerintah USA.
Ada sebanyak 12.000 uji lapang yang disetujui pemerintah. Tahun 1980 berhasil diciptakan mikroorganisme
transgenik. Bakteri Pseudomonas
fluorescens diubah DNAnya sehingga mampu mengekspresikan protein anti beku
untuk menghambat pembentukan kristal es.
Protein antibeku ini dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian untuk
mencegah kerusakan tanaman akibat suhu beku di musim gugur.
Tahun 2009 FDA (food Drug Agency) menyetujui
obat-obatan yang dihasilkan oleh hewan ternak melalui metode bioteknologi. Protein anti clotting faktor dapat diproduksi
berbarengan dengan produksi susu kambing (Donovan 2009).
Serangga
Transgenik
Serangga
transgenik dikembangkan pada kepentingan antara produksi obat-obatan dalam
bidang kesehatan dan tanaman rekayasa genetika.
Serangga trangenik mulai dikembangkan tahun 1950 dan 1960. Saat itu ternak di selatan USA terserang
lalat yang belatungnya hidup dan berkembang biak dalam tubuh hewan ternak. Cara yang digunakan untuk mengendalikan hama
lalat tersebut dengan teknik jantan mandul (SIT sterilized insect technique).
Dari kisah pengendalian lalat dengan SIT tersebut terfikirkan untuk
mengembangkan serangga transgenik untuk mengendalikan penyakit dengan vektor
serangga tersebut (Donovan 2009).
Motivasi
Pengembangan Serangga Transgenik
Motivasi
perlu dilakukan pengembangan serangga transgenik ada kaitannyan dengan penyakit
manusia yang disebarkan melalui vektor serangga. Ada 7 penyakit mematikan dengan vektor
serangga yaitu malaria, dengue fever, lymphatic filariasis, yellow fever,
leishmaniasis, chagas disease, african sleeping sickness. Penyakit dengan vektor serangga tersebut
umumnya terjadi di Afrika, Asia dan Amerika latin.
Perusahaan farmasi besar umumnya enggan
berinfestasi mengembangkan obat-obatan untuk penyakit yang disebutkan
sebelumnya tersebut. Mereka menganggap
pangsa pasar tidak akan mampu pembeli produk obat-obatan hasil penelitian dan
investasi dengan biaya tinggi. Akibatnya
7 penyakit mematikan dengan vektor seragga tersebut akan tetap ada, tanpa ada
sulusi pencegahan dan pengobatannya.
Masalah
lain yang muncul, pengobatan di negara dunia ketiga adalah terbatasnya sarana
dan prasarana yang ada. Vaksin yang
sudah dikembangkan untuk mencegah suatu penyakit sering tidak efektif saat
diaplikasikan di lapangan. Tidak ada
fasilitas pendingin, tidak ada listrik membuat vaksin rusak dan tidak efektif
lagi untuk mencegah suatu penyakit (Donovan 2009).
Motivasi
lain perlunya dikembangkan serangga transgenik adalah mengeliminasi hama
tanaman pertanian dan hewan ternak.
Pengendalian menggunakan insektisida sintetis menyebabkan masalah lain
yang tidak kalah pelik antara lain: pencemaran air, makanan, lingkungan,
manusia, timbulnya resistensi dan resurgensi pada hama. Banyak dana dikeluarkan
untuk pengendalian hama ternak lalat screw worm dan lalat buah Mediterinia. Biaya yang dikeluarkan tersebut diharapkan
akan berkurang atau bahkan tidak ada setelah aplikasi serangga transgenik untuk
pengendalian vektor (Donovan 2009).
Masalah
penting lain yang perlu diselesaikan yaitu hilangnya koloni lebah karena
terserang oleh patogen dan juga karena pengaruh insektisida biogenik
amine. Persoalan ini kemungkinan dapat
diselesaikan menggunakan pendekatan rekayasa serangga (Farooqui 2013). Potensial penggunaan serangga transgenik adalah
sebagai bioreaktor untuk menghasilkan protein obat-obatan, protein bahan
makanan dalam skala besar, murah, mudah dan berkualitas (Chen et al 2006,
Verkerk et al 2007).
Cara
Membuat Serangga Transgenik
Ada
3 katagori yang termasuk dalam definisi serangga transgenik yaitu
1. Merusak genom serangga secara langsung
menggunakan radiasi atau mutagen senyawa kimia, contohnya adalah nyamuk
yang dilakukan teknik SIT (sterile insect
technique).
SIT adalah serangga
transgenik pertama yang dikembangkan dengan merubah langsung genom dan
dilaporkan mengalami kesuksesan. Nyamuk
dilakukan rearing masal di laboratorium, dipisahkan jantan dan betina secara
manual. Jantan diberi perlakuan radiasi
radioaktif agar spermanya mengalami kerusakan.
Nyamuk jantan kemudian dilepaskan ke lapangan. Nyamuk jantan ini akan kawin dengan nyamuk
liar dan menghasilkan keturunan mandul, tidak ada telur yang menetas sehingga
lambat laun populasi nyamuk di lapangan akan turun (Donovan 2009).
2. Paratransgenesis yaitu mengubah flora
simbion komensalisme yang ada dalam sel atau saluran pencernaan serangga. Tujuan paragenesis adalah mengubah kompetensi
serangga vektor dengan mengubah genetik simbion yang hidup di dalamnya. Paratransgenesis dilakukan pada simbion yang
‘absolute dependent atau ketergantungan mutlak pada inangnya
(Donovan 2009). Contoh paratransgenesis
antara lain modifikasi bakteri simbion Wolbachia pada nyamuk (Weren et al
2008), modifikasi bakteri Enterobacter
cloacae yang hidup di saluran pencernaan rayap (Husseneder and Grace 2005).
Simbion
seperti wolbachia diturunkan dari serangga betina ke keturunan selanjutnya,
tidak infeksius, terjadi juga secara alami dalam rentang evolusi panjang. Seperti halnya mitokondria, awalnya adalah
bakteri bebas kemudian bergabung dengan sel. Walaupun mitokondria sudah
bergabung dengan sel, ciri sebagai bakteri tidak hilang, salah satunya masih
tetap mempunyai DNA khusus di dalam mitokondria. Nyamuk vektor penyakit dengue fever secara
alami tidak mempunyai simbion wolbacia di dalam selnya.
Peneliti memasukkan Wolbacia pipientis ke dalam sel nyamuk Aedes aegypti, seperti mempercepat terjadinya evolusi. A. aegypti
terinfeksi W. pipientis kemudian kawin
dengan nyamuk liar akan terjadi ketidak cocokan sitoplasmik sehingga keturunan
yang dihasilkan mati. Walaupun tidak melakukan
perubahan genetik pada serangga inang, memasukkan simbion atau memodifikasi
siombion dapat dikatagorikan sebagai serangga transgenik sehingga analisis
resiko dan management pengawasan sama seperti serangga transgenik konvensional
lainnya (Beech et al 2012).
3. Merubah genom serangga.
Kurzgesagt
(2016) membuat film animasi sederhana sehingga mudah difahami mengenai
mekanisme pembuatan serangga transgenik. Plasmodium adalah patogen penyebab penyakit
malaria yang dibawa oleh vektor nyamuk Anopheles
gambiae. Plasmodium masuk ke dalam
tubuh manusia saat nyamuk menghisap darah.
Plasmodium langsung menuju sel hati, berkembang biak hingga menyebabkan
sel hati pecah. Sel yang pecah membuat
plasmodium terikut ke dalam aliran darah.
Gumpalan plasmodium tidak sengaja
juga akan menempel pada sel darah merah yang mengalir di pembuluh darah. Plasmodium akan bereplikasi hingga membuat
sel darah merah rusak dan pecah. Semakin
banyak plasmodium yang berhasil berkembang biak maka jumlah sel darah merah
yang rusak dan pecah semakin banyak.
Jika tidak ditolong oleh tenaga medis maka seseorang terserang
plasmodium akan mengalami kematian.
Untuk mencegah kematian yang semakin banyak akibat plasmodium ini
dilakukan rekayasa nyamuk transgenik.
DNA
nyamuk yang dipelihara di laboratorium dipotong dengan gunting enzim restriksi
endonuklease. DNA ini kemudian disisipi
dengan DNA dari luar sesuai kebutuhan misalnya hasil akhirnya adalah keturunan
tidak lagi sebagai vektor plasmodium.
Serangga transgenik ini kemudian dilepaskan ke lingkungan. Nyamuk transgenik akan kawin dengan nyamuk
liar hingga dihasilkan keturunan transgenik.
Pada awalnya serangga transgenik sedikit dengan semakin banyaknya
terjadi perkawinan dengan nyamuk liar maka populasi nyamuk transgenik akan
semakin banyak. Sehingga diharapkan
nyamuk di suatu hari nanti tidak lagi sebagai vektor plasmodium yang dapat
menyebabkan penyakit malaria.
Pembuatan
serangga transgenik dapat juga ditujukan untuk keperluan SIT (sterile insect technique) yaitu serangga
jantan dan betina hasil rekayasa genom di laboratorium akan kawin dengan serangga
liar menghasilkan keturunan tidak dapat berkembang atau mati. Schetelig et al (2009) menerangkan cara
membuat lalat buah mediteria (Ceratitis
capitata) untuk keperluan menurunkan populasi lalat buah liar di alam
dengan introduksi C. capitata hasil
rekayasa genetika.
Cara memasukkan DNA
rekombinasi untuk tujuan SIT secara invitro menggunakan bantuan ‘jumping gen’ enzim
transposase PiggyBac. PiggyBac yang
sudah masuk ke tubuh lalat buah transgenik harus dibuang kembali karena jika
tidak dibuang dikhawatirkan DNA rekombinan akan meloncat masuk ke organisme
lain. Dengan membuang transposase
PiggyBac maka, DNA rekayasa bersifat stabil dan tidak dapat keluar berpindah ke
organisme lain.
Hal
penting lain dalam membuat lalat buah rekayasa genetik adalah gen untuk
keperluan SIT akan menyisip di sembarang lokasi dalam genom serangga. Lokasi gen SIT yang tidak tepat dapat
menyebabkan lalat buah mengalami cacat fisik, tidak dapat terbang, lemah tidak
mampu bersaing memperebutkan pasangan.
Untuk mendapatkan tempat penyisipan gen
SIT yang tepat diperlukan pengerjaan injeksi DNA invitro pada embrio lalat buah
secara acak. Jika lokasi penyisipan DNA
di genom lalat buah sudah tepat yakni lalat berkembang sempurna tanpa
kekurangan, maka lokasi DNA tersebut dapat diketahui karena digunakan marker
attP (attachmentP). Marker aatP adalah
ruas DNA yang dapat mengekpresikan warna jika serangga disinari dengan UV. Populasi lalat buat mengandung marker aatP
dipelihara di lab untuk keperluan pengerjaan selanjutnya (Schetelig et al 2009).
Setelah
mendapatkan populasi lalat buah dengan marker aatP maka proses selanjutnya
yaitu menciptakan plasmid yang juga mengandung marker sebagai penanda serangga
rekombinan berhasil terbentuk. Plasmid bermarker
ini disisipi dengan DNA untuk keperluan SIT.
Agar plasmid dapat terintegrasi dengan DNA lalat buah target di lokasi
aatP maka, plasmid perlu diberikan enzim peloncat transposase PiggyBac.
Plasmid dengan transposase PiggyBac
diinjeksikan secara invitro pada embrio lalat buat bermarker aatP. Lalat buah transgenik yang berhasi diciptakan
dideteksi dengan cara imago disinari dengan UV, lalu mengekspresikan 2 warna
dari marker aatP dan marker plasmid.
Populasi serangga transgenik ini dikawinkan sesamanya sehingga
didapatkan lalat buah homozigot AA (Schetelig et al 2009).
Proses selanjutnya menciptakan
populasi lalat buah lain yang mengandung PiggyBac jumpstarter homozigot BB. Perkawinan antara lalat buah mengandung
jumstarter BB ini dengan populasi transgenik AA menghasilkan lalat buah tanpa
transposase PiggyBac dan populasi lalat buah dengan transposase PiggyBac.
Populasi lalat buah tanpa enzim transposase PiggyBac yang juga mengandung gen
untuk keperluan SIT inilah yang akan dilepaskan kelapangan. Populasi lalat buah dengan enzim peloncat
PiggyBac tidak dipakai kemudianmati. Karena
lalat buah transgenik tidak lagi mengandung enzim peloncat maka tidak ada
kekawatiran DNA transgenik akan lolos dan berintegrasi dengan DNA pada
organisme lain di alam (Schetelig et al 2009).
Cara
Serangga Transgenik Mengendalikan Populasi Hama atau Vektor
Ada 2 strategi
untuk mengendalikan populasi serangga hama atau serangga vektor di alam yaitu
1.
Strategi membatasi diri (Self-limiting
strategies)
Serangga
transgenik setelah dilepaskan ke alam liar, cepat atau lambat populasinya akan
menghilang dari lingkungan pelepasan.
Untuk itu jika populasi hama atau vektor masih banyak di alam, maka
perlu dilakukan pelepasan ulang serangga transgenik. Contoh strategi membatasi diri ini adalah
pelepasan serangga SIT (sterile insect
technique) yang didapatkan melalui teknik radiasi langsung genom serangga.
Serangga SIT akan kawin dengan serangga liar
menghasilkan keturunan mortal. Dengan
terus menerusnya terjadi perkawinan tersebut maka lambat laun populasi liar
jumlahnya akan berkurang bahkan hilang.
Tujuan akhir dari strategi membatasi diri adalah population suppression, yaitu populasi hama atau vektor jumlahnya
tertekan, sehingga lambat laun akan habis bahkan bisa punah (Beech et al 2012).
Pemasukan
bakteri wolbacia pada sel nyamuk vektor dengue fever A. aegypti juga menggunakan strategi Self-limiting strategies. Nyamuk terinfeksi wolbacia jika kawin
dengan nyamuk liar akan terjadi ketidak cocokan sitoplasma sehingga keturunan
yang dihasilkan akan mati (Werren et al 2008).
Beberapa
kemungkinan yang dapat dianalisis dari pelepasan serangga SIT. Serangga transgenik memang didisain untuk
mati, kemudian serangga hama atau vektor juga akan punah. Maka ada satu spesies serangga punah dari
muka bumi. Pertanyaan besar untuk
kelangsungan mata rantai jaring makanan di suatu ekosistem. Setiap satu mata rantai hilang pasti akan
menimbulkan dampak tidak baik pada rantai makanan berikutnya. Bisa juga dilakukan alternatif, populasi hama
atau vektor dilakukan management tidak sampai habis di alam liar. Jika suatu waktu populasi vektor meningkat
dapat dilakukan aplikasi pelepasan ulang serangga transgenik SIT.
2.
Strategi serangga transgenik untuk establish dan menyebar
Contoh
strategi establish dan menyebar adalah pelepasan nyamuk transgenik A. gambiae untuk pengendalian nyamuk
vektor plasmodium penyebab penyakit malaria, seperti diulas sederhana oleh Kurzgesagt
(2016). Serangga transgenik yang
dilepaskan ke alam liar akan tetap berada di lingkungan. Populasi serangga transgenik seiring dengan
berjalannya waktu akan mengingkat dan menyebar.
Terjadi peristiwa population
replascement. Serangga transgenik
akan menggantikan populasi nyamuk A. gambiae
liar di alam. Plasmodium tidak dapat
hidup dalam serangga transgenik sehingga penyakit malaria dikemudian hari
diharapkan tidak terjadi lagi (Beech et al 2012).
Keuntungan
Pemakaian Serangga Transgenik
Beberapa manfaat
yang dapat dirasakan dari penggunaan serangga transgenik antara lain:
- . Serangga non target yang terkena dampak serangga transgenik lebih sedikit dibandingkan jika menggunkan aplikasi insektisida
- . Serangga transgenik mampu mengendalikan populasi hama dan vektor secara menyeluruh, pada setiap sudut tempat yang mungkin tidak terjangkau jika dilakukan pengendalian konvensional.
- . Serangga rekayasa genetika dapat melakukan andil mengurangi penggunaan insektisida dan mengurangi residu toksik yang masih tertinggal di lingkungan.
- . Serangga transgenik mampu melakukan fungsinya baik sebagai pengendali hama dan vektor juga sebagai bioreaktor tanpa supervisi manusia selama 24 jam non stop, 7 hari seminggu, 30 hari dalam sebulan (Donovan 2009).
Resiko
Pemanfaat Serangga Transgenik
- Dampak negatif yang mungkin dirasakan dengan pelepasan serangga transgenik ke alam liar adalah
- Timbulnya resistensi pada serangga atau patogen. Strategi replacement, penggantian suatu populasi, ada kemungkinan memicu munculnya patogen virulen jenis lain.
- Eliminasi satu spesies dapat menimbulkan resiko dominannya spesies serangga lain, yang mungkin lebih invasif membuat kerusakan.
- Bisa terjadi kemungkinan gene dalam serangga transgenik berpindah ke spesies lain (horizontal gene transfer). Kemungkinan terjadinya gene trasfer ini dapat dijelaskan oleh Schetelig et al (2009) tidak akan terjadi karena enzim pemindah transposase, misal PiggyBac sudah dihilangkan dari serangga transgenik, sehingga gen dari transgenik tidak dapat keluar secara otomatis.
- Dampak yang belum diketahui dari larva serangga transgenik terhadap tanaman, kesehatan manusia dan lingkungan.
- Jika sudah terjadi suatu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh seragga rekayasa genetika, sifatnya tidak dapat balik (Donovan 2009).
Contoh-Contoh
Aplikasi Serangga Transgenik Dalam Kehidupan
Sel serangga sebagai sumber pangan bagi
manusia.
Pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat perlu dicari
alternatif memenuhi kebutuhan protein, disamping protein utama dari hewan
ternak dan tumbuhan. Serangga merupakan
alternatif sumber pangan protein yang relatif murah dan efisien.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa beberapa
spesies serangga aman untuk dikonsumsi.
Akan tetapi bentuk utuh serangga terkadang membuat jijik orang yang akan
mengkonsumsinya. Padahal dari segi
nutrisi, serangga tidak kalah kandungan gizi dibandingkan hewan ternak
lain. Seperti contoh Orthoptera, dalam
100 g berat kering serangga terkandung 61-77 g protein, 4-17 g lemak, 2-17 g
mineral, 362-427 kkalori (Bukkens 1997).
Nutrisi
dari serangga didapatkan dengan cara: membiakkan larva atau pupa sebagai
bioreaktor atau membiakkan kultur sel serangga invitro. Memelihara serangga skala besar sebagai
bioreaktor alami mempunyai kendala seperti masalah ruang, kesehatan serangga,
tidak efisien, serangga sering menghasilkan bahan alergan sehingga akan
berpengaruh buruk bagi yang memelihara.
Untuk itu dicari cara termudah, lebih efisien yaitu menggunakan kultur
sel serangga invitro. Sel serangga
kemudian diinfeksi dengan Baculovirus yang DNAnya sudah disisipi gen untuk
keperluan manusia, misalnya gen tersebut nantinya akan mengekspresikan protein
untuk keperluan konsumsi. Keuntungan
lain menggunakan Baculovirus karena virus tersebut diketahui tidak berbahaya
bagi manusia dan hanya spesifik menginfeksi serangga. Keuntungan memproduksi protein melalaui kultur
sel serangga adalah bioreaktor buatan tidak memerlukan ruangan masif seperti
jika membiakkan serangga. Bioreaktor tersebut
tertutup sehingga tidak ada kontaminasi atau terjadi alergi pada pekerja
(Verkerk 2007).
Produksi protein obat hGM-CSF pada pupa
ulat sutra (Bombyx mori).
Myelodysplastic syndromes adalah kondisi
dimana sumsum tulang belakang tidak dapat memproduksi sel darah merah, sel
darah putih dan platelet (mds-foundation 2016).
Protein hGM-CSF (human
granulocyte-macrophage colony stimulating factor) dapat digunakan sebagai prekursor
agar sel sumsum tulang belakang kembali lagi berfungsi. Protein hGM-CSF dapat juga digunakan untuk
mengobati regenerative drawback anemia, visceral leishmaniasis dan AIDS. Selama ini protein hGM-CSF dihasilkan dari
ekspresi bakteri Escherichia coli, hanya
saja protein tidak terlipat dengan sempurna sehingga mempengaruhi keefektifan dalam
proses pengobatan penyakit.
Produksi
protein hGM-CSF dapat dihasilkan melalui larva B. mori yang diinfeksi baculovirus dimana DNAnya sudah disisipi
dengan gen hGM-CSF. Hanya saja, larva
membutuhkan proses rearing dengan pakan daun mulberry pada kondisi suhu stabil
(25-28oC). Untuk itu Chen at al (2006) mencoba memproduksi protein
hGM-CSF menggunakan pupa B. mori
sehingga tidak perlu dilakukan proses pemiliharaan intensif. Protein hGM-CSF dapat diproduksi dari pupa B. mori yang diinfeksi baculovirus
rekombinan, dengan tingkat glikosilasi residu gula manose tinggi dan karakteristik
protein sesuai hGM-CSF alami.
Paratransgenesis untuk pengendalian hama
rayap.
Di dalam saluran pecernaan
rayap dipenuhi oleh komunitas mikroba.
Rayap sangat tergantung pada mikroba ini untuk memenuhi kebutuhan
nitrogen, karbon, dan energi.
Mikroorganisme dalam saluran pencernaan juga sebagai pelindung rayap
dari serangan bakteri dari luar tubuh. Antar
rayap saling bertukar koloni mikroba saluran pencernaan melalui proses:
grooming, pertukaran makanan dan coprophagy (makan kotoran) (Dillon and Dillon
2004 dalam Husseneder 2005).
Karena
ketergantungan tinggi rayap pada mikroflora dalam saluran pencernaannya, maka hal
ini potensial digunakan sebagai sarana pengendalian rayap. Sebagai ilustrasi, bakteri mikroflora rayap
genomnya disisipi gen penghasil toksin Bacillus
thuringiensis. Dengan adanya sifat
grooming, coprophagy dan pertukaran makanan maka toksin B. thuringiensis akan cepat tersebar ke seluruh koloni rayap
sehingga dapat menyebabkan kematian masal koloni.
Proses
pembuatan rekayasa paratransgenesis sebagai berikut seperti diulas oleh
Husseneder dan Grace (2005). Di dalam
saluran pencernaan rayap Formosan Subteranean (Coptotermes formosanus Shiraki, Isoptera: Rhinotermitidae) terdapat
bakteri indegenous Enterobacter cloacae. Seperti diketahui setiap bakteri mempunyai
plasmid. Plasmid E. cloace diisolasi, dipotong dengan enzin restriksi, disisipi gen pengendali
rayap misalnya Bt toksin, marker lacZ dan gen resisten antibiotik ampicillin. Marker lacZ berfungsi sebagai penanda bahwa
gen Bt toksin sudah masuk dalam plasmid, jika disinari di bawah UV maka bakteri
akan berwarna hijau.
Gen resisten
antibiotik ampicillin digunakan, saat menumbuhkan koloni bakteri dalam cawan
petri yang diberi sejumlah konsentrasi ampicillin, maka bakteri non target mati
sedangkan bakteri mengandung DNA rekombinan akan tetap hidup. Bakteri tahan antibiotik kemudian berwarna hijau
ketika disinari UV adalah sebagai penanda bahwa DNA mengandung Bt toksin sudah
berada di dalam plasmid.
Koloni
bakteri E. cloacae mengandung gen Bt
toksin disiramkan pada kertas saring, kemudian rayap pekerja diberi waktu 12
jam untuk memakan kertas saring tersebut.
Hasilnya 90-100% populasi bakteri E.
cloacae dalam saluran pencernaan rayap C.
formosanus Shiraki sudah mengandung bakteri transgenik. Dari rayap pekerja yang bertugas memberi
makan koloni, maka bakteri transgenik tersebar ke seluruh populasi. Populasi C.
formosanus akan mati kerena racun toksin.
Husseneder dan Grace (2005) juga menjelaskan tanah tempat hidup rayap
tidak terdeteksi adanya bakteri rekombinan mengandung gen Bt toksin sehingga
tidak ada kekawatiran toksin akan menyebar ke organisme lain.
Ekspresi enzim asetilkolinesterase lalat untuk deteksi residu pestisida.
Pestisida berbahan aktif posfat dan
karbamat bekerja dengan cara mengikat enzim asetilkolinesterase (AchE) yang
berada di percabangan syaraf antara akson dengan dendrit. Karena AChE diikat oleh posfat dan karbamat
maka neurotransmitter asetilkoline tidak dapat dipecah menjadi asetil dan
koline sehingga terjadi penumpukan asetilkoline di sinap syaraf. Sinyal listrik tidak dapat berjalan lancar
menyebabkan serangga kejang-kejang, lumpuh dan mati.
Pemakaian pestisida yang tidak bijaksana
membuat residunya masih terdapat di bahan makanan, tanah, air, hewan ternak
dll. Residu pestisida berbahan aktif
posfat dan karbamat ini dapat dideteksi keberadaannya menggunakan enzim AChE
sintetik menggunakan prinsip molekular (Lang et al 2010). AChE dimasukkan dalam cairan mengandung residu
posfat dan karbamat akan terjadi reaksi ikatan AChE dengan posfat dan
karbamat. Sebaliknya jika sampel tidak
mengandung residu pestisida maka tidak akan terjadi ikatan apapun.
Proses
pembuatan enzim AChE sintetik dijelaskan Lang et al (2010) sebagai berikut. Kepala
lalat rumah (Musca domestica)
diekstrak untuk mendapatkan total RNA.
Komplemen DNA disintetik dari total RNA menggunakan enzim reverse
transcriptase dan oligo T (dT) primer. Gen
penyandi AChE yang sudah didapat kemudian disisipkan dalam plasmid pGEM-T. Plasmid mengandung gen AChE kemudian
dimasukkan dalam baculovirus transfer vektor pFastBac 1.
Baculovirus transgenik yang mengandung gen
AChE kemudian di infeksikan ke kultur sel serangga Trichoplusia ni. Ekspresi
DNA rekombinan berupa enzim AChE kemudian dipanen dengan sentrifugasi dan
purifikasi. Enzim murni AChE ini yang
digunakan untuk deteksi adanya residu senyawa posfat dan karbamat di
lingkungan, bahan makanan dll. Enzim
sintetik mampu mendeteksi adanya senyawa residu pestisida 0,02 ppm untuk bahan
aktif Dichlorvos; 0,12 ppm untuk carbofuran; 0,15 ppm untuk propoxur; 0,15 ppm
untuk bendiocas; dan 2 ppm untuk
methomyl.
Daftar
Pustaka
Beech
CJ, Koukidou M, Morrison NI, Alphey L. 2012. Genetically modified insects:
science, use, status and regulation.
Collection of Biosafety Reviews 6:66-124.
Biology
Animation Videos. 2016. Transposons animation-DNA transposable
element. YOUTUBE [diakses 4 Desember 2016].
Bukkens
SGF. The nutritional value of edible insects. Ecol Food Nutr 36:287-319.
Chen
J, Wu XF, Zhang YZ. 2006. Expression,
purification and characterization of human GM-CSF using silkworm pupae (Bombyx mori) as a bioreactor. Journal of
Biotechnology 123: 236-247.
Cohen
SN, Chang ACY, Boyer HW, Helling RB. 1973. Contruction of biologically
functional bacterial plasmid in vitro. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 70
(11):3240-3244.
Donovan
MJ. 2009. Genetically modified insecet: why do we need them and how will they
be regulated. 17 Mo. Envtl. L. & Pol'y Rev. 62
Farooqui
T. 2013. A potential link among biogenic amines based pesticides,learning and
memory, and colony collapse disorder: a
unique hypothesis. Neurochemistry International 62:122-136
Herren
RV. 2005. Introduction to Biotehnology An Agricultural
Revolution. Thomson Delmar Learning: USA
Husseneder
C, Grace JK. 2005. Genetically
engineered termite gut bacteria (Enterobacter
cloacae) deliver and spread foreign genes in termite colonies. Applied
Genetics and Molecular Biotechnology 68: 360-367.
Karp
Gb. 2014. Cell Biology Seventh Edition. Wiley: Asia.
Kurzgesagt.
2016. Easy understanding A.aegipti modified
insect. YOUTUBE.
Lang
GJ, Shang JY, Chen YX. 2010. Expression of the housefly acetylcholinesterase in
a bioreactor and its potential application in the detection of pesticide
residues. World J Microbiol Biotechnol 26:1795-1801.
Mds-foundation.org.
2016. Understanding myelodysplastic syndrom. www.mds-foundation.org/what-is-mds [diakses 3
Desember 2016].
Schetelig
MF, Scolari F, Handler AM, Kittelmann S, Gasperi G, Wimmar EA. 2009.
Site-specific recombination for the modification of transgenic strains of the
Mediterranean fruit fly Ceratitis
capitata. PNAS 43(106): 18171-18176.
Transpoagenbio. 2016.
The PiggyBacTM Transposagen.
www.transposagenbio.com/products-and-services/gen-editing-reagent-and-kits/piggybac [diakses 4
Desmber 2016].
Verkerk
MC, Tramper J, van Trijp JCM, Martens DE. 2007. Insect cell for human
food. Biotechnology Advances 25:198-202.
Watson
JD & Crick FHC. 1953. The structure of DNA. Cold Spring Harb Symp Quant
Biol 18:123-131
Werren
JH, Baldo L, Michael EC. 2008. Wolbachia: master manipulators of invertebrate
biology. Nature Reviews Microbiology
Volume 6.
Wessler
S. 2012. Introduction to transposable elements. iBiology. YOUTUBE.