Saturday, February 11, 2017

Penelitian Terkini Cara Membuat Serangga Transgenik

Serangga Transgenik: Apa, Bagaimana dan Contoh Aplikasi Dalam Kehidupan

Sat Rahayuwati/A361160041








A.Sejarah Penemuan DNA Hingga Munculnya Serangga Transgenik

A.1. Penemuan DNA


Penemuan molekul DNA (deoxyrybonucleate acid) tahun 1953 oleh Watson dan Crick merupakan tonggak sejarah perkembangan ilmu pengetahuan biologi molekuler.  Penemuan DNA oleh Watson dan Crick tersebut adalah proses penelitian panjang sebelumnya. Diketahui bahwa semua mahluk hidup tersusun atas sel, dari organisme tingkat rendah bersel satu hingga organisme tingkat tinggi seperti tumbuhan, hewan dan manusia.  Tahun 1928 Frederick Griffith dan 1944 Avery melakukan percobaan yang menyimpulkan bahwa materi genetik penyusun hereditas adalah DNA.  Percobaan yang dilakukan adalah: tikus disuntik dengan bakteri paru-paru tidak ganas ternyata tikus tidak mati.  Tikus disuntik dengan bakteri paru-paru ganas yang sudah dipanaskan sebelumnya, ternyata tikus tidak mati.  



Bakteri ganas yang dipanaskan menjadi mati sehingga tidak mampu menginfeksi tikus.  Bakteri tidak ganas dan bakteri ganas yang sudah dipanaskan sebelumnya dicampur kemudian disuntikan pada tikus. Ternyata tikus bisa mati.  Setelah diperiksa pada tubuh tikus ditemukan materi genetik bakteri ganas.  Materi genetik bakteri ganas setelah dipanaskan ternyata tidak mati, lalu masuk ke inti bakteri tidak ganas.  Bakteri yang tidak ganas berubah menjadi ganas sehingga berhasil mematikan tikus.  Materi genetik yang mampu berpindah ini memperkuat temuan bahwa asal usul keturunan, sifat yang diwariskan dari mahluk hidup berada dalam inti sel (Karp 2014).


Susunan molekul tiga dimensi meteri yang diturunkan dari induk ke anak setiap organisme hasil temuan Watson dan Crick (1953) adalah

1. Bentuk DNA adalah utas seperti tali panjang, berpasangan, dengan orientasi cara berpasangannya belawanan dan memutar (double helix).
2.Tali panjang tersebut terdiri atas molekul phospat, gula pentosa dan basa nitrogen. 
3. Posphat yang berperan seperti punggung yang membuat DNA tampak seperti sebuah tali ganda
4. DNA tersusun atas unit tunggal disebut nukleotida terdiri atas pasangan 1 buah phosphat, 1 buah gula pentosan dan 1 buah basa nitrogen
5. Satu unit nukleotida tersebut saling berpasangan pada bagian basa nitrogen.
6. Basa nitrogen DNA terdiri atas Adenin (A), Guanin (G), Citosin (C), Timin (T).  Basa nitrogen tersebut saling berpasangan tetap yaitu Adenin-Timin dan Guanin-Citosin (Watson & Crick 1953)



A.2. Penelitian Bioteknologi


Penelitian tentang DNA semakin banyak dilakukan.  Untuk memudahkan mempelajari sistem kerja DNA digunakan organisme tingkat rendah yaitu bakteri Eschericia coli.  Diketahui bahwa materi genetik E. coli berupa DNA yang tidak diselubungi inti sel dan plasmid.  Ukuran DNA plasmid lebih pendek dibandingkan DNA utama.  Tahun 1973 sudah ditemukan cara mengisolasi dan purifikasi plasmid.  Plasmid merupakan materi genetik DNA yang bertugas membentuk resistensi terhadap antibiotik antara lain streptomycin dan sulfonamide.  


Pada tahun tersebut juga sudah diketahui enzim yang dapat memotong utas ganda DNA yaitu restriction endonuclease EcoRI dan EcoRII.  Hasil pemotongan enzim tersebut pada utas ganda DNA adalah ujung overlaping utas tunggal atau disebut juga sticky end.  DNA dari sumber lain yang dipotong menggunakan EcoRI dan EcoRII juga menghasilkan ujung sticky end serupa.  DNA dari luar ini dapat bergabung dengan DNA plasmid melalui ujung sticky end akibat kerja enzim pengikat ligase, menghasilkan DNA rekombinan baru.  Rekombinan DNA ini dapat dikerjakan secara invitro dan mampu berfungsi layaknya DNA plasmid yang ada di dalam tubuh bakteri (Cohen et al 1973).


Bakteri pembuat puru pada tanaman (Agrobacterium tumefaciens dan A. rhizogenes) menyumbangkan pengetahuan bahwa gen dapat dipindahkan dari satu organisme ke organisme lain yang berbeda spesies.  Bakteri A. tumefaciens dan A. rhizogenes) mempunyai plasmid T-DNA yang dapat berpindah dari bakteri ke tanaman.  T-DNA menyandikan protein yang diproduksi tanaman untuk keperluan hidup bakteri.  T-DNA yang telah disisipi gen yang diinginkan manusia, akan masuk ke genom tanaman sehingga ekspresi sifat yang diharapkan akan muncul, misalnya tanaman tahan hama, tanaman tahan herbisida, buah tanaman yang tidak mudah busuk dll (Heren 2005). 


A.3. Transposable Element (TE) PiggyBacTM


Terciptanya serangga transgenik tidak terlepas dari penelitian panjang mengenai agen pemindah gen (jumping gen).  PiggyBacTM adalah nama produk gen pemindah DNA rekombinan ke genom serangga.  PiggyBac sebagai jumping gen banyak dimanfaatkan dalam bidang rekayasa genetika karena beberapa keuntungan: tidak berasal dari virus sehingga tidak ada kekawatiran potensi membahayakan manusia, kapasitas membawa DNA rekombinan besar 200 kb, DNA rekombinan yang dihasilkan stabil, PiggyBac efisien bergabung dengan berbagai genom target (Transposagenbio.com 2016).


Penelitian jumping gen atau transposable element (TE) pertama kali dilakukan oleh Barbara McClintock (1902-1992) dari Cornel University.  Barbara tahun 1929 mengamati bintik-bintik warna yang terbentuk pada biji jagung populasi indigenous Amerika Latin. Bintik pada biji jagung disebabkan oleh mutasi dapat balik karena adanya perpindahan TE.  Saat TE berada dalam gen warna ungu maka biji jagung akan menjadi berbintik-bintik ungu.  Saat TE keluar kembali dari gen ungu maka biji jagung kembali ke warna normal kuning.  Empat puluh tahun pasca penemuan transposable oleh Barbara, ternyata diketahui TE tidak hanya ditemukan pada tanaman jagung tetapi ditemukan pada semua organisme (Wessler 2012).



Transposable element adalah ruas DNA yang dapat berpindah dari satu lokasi dalam kromosom ke ruas DNA kromosom lain suatu organisme. Transposable element merupakan untaian DNA dengan panjang antara 700-1500 pasang basa.  Untaian DNA tersebut jika dirinci terdiri dari coding region untuk membuat enzim dan 3 pasang basa (TAA) untuk menempel pada kromosom target (Biology animation videos 2016).



Mekanisme kerja jumping gen atau transposable element ada 2 macam yaitu replikatif transposisi dan non replikatif transposisi. Mekanisme kerja replikatif transposisi, coding region melakukan proses translasi sehingga dihasilkan protein enzim transposase.  Enzim akan mengenali ruas DNA target pada basa TAA.  Enzim memotong pada satu titik untuk tiap-tiap utas ganda DNA transposable element TE.  Enzim juga memotong DNA target pada satu titik untuk setiap pasangan basanya. Satu titik pemotongan TE berpindah ke DNA target, sedangkan satu titik lain pemotongan TE berpindah ke DNA target basa pasangannya.  Ruas DNA target melebar kemudian terjadi replikasi atau penggandaan sehingga didapatkan 2 buah TE (Biology animation videos 2016).  






Mekanisme kerja pemindahan TE ke DNA target dengan cara non replikatif transposisi. Coding region melakukan proses translasi sehingga dihasilkan protein enzim transposase.  Enzim akan mengenali ruas DNA target pada basa TAA.  Ruas TE akan ditekuk melengkung oleh enzim kemudian TE dipotong.  Enzim memotong DNA target langsung pada 2 titik sekaligus.  Ruas TE akan menempel pada utas ganda DNA target yang sudah terpotong.  Celah yang terbentuk setelah penempelan di isi dengan pasangan basa nitrogen komplemen oleh enzim polimerase dan disegel oleh enzim ligase (Biology animation videos 2016).  



           
Dalam proses pembuatan serangga transgenik, TE ini diisi dengan DNA yang diinginkan oleh peneliti.  Misalnya TE akan disisipi dengan gen toksin Bacillus thuringensis, TE disisipi gen yang akan mengeskpresikan protein obat atau protein pangan dsb.  Produk TE dipasarkan dengan merk dagang PiggiBacTM.


A.4.  Aplikasi Bioteknologi



Mulai tahun 1980-an terobosan bioteknologi sangat besar.  Peneliti dapat menciptakan tanaman resisten terhadap bahan kimia.  Tahun 1987 uji lapang terhadap tanaman hasil rekayasa genetika disetujui oleh pemerintah USA. Ada sebanyak 12.000 uji lapang yang disetujui pemerintah.  Tahun 1980 berhasil diciptakan mikroorganisme transgenik. Bakteri Pseudomonas fluorescens diubah DNAnya sehingga mampu mengekspresikan protein anti beku untuk menghambat pembentukan kristal es.  Protein antibeku ini dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian untuk mencegah kerusakan tanaman akibat suhu beku di musim gugur.  



Tahun 2009 FDA (food Drug Agency) menyetujui obat-obatan yang dihasilkan oleh hewan ternak melalui metode bioteknologi.  Protein anti clotting faktor dapat diproduksi berbarengan dengan produksi susu kambing (Donovan 2009).



Serangga Transgenik


Serangga transgenik dikembangkan pada kepentingan antara produksi obat-obatan dalam bidang kesehatan dan tanaman rekayasa genetika.  Serangga trangenik mulai dikembangkan tahun 1950 dan 1960.  Saat itu ternak di selatan USA terserang lalat yang belatungnya hidup dan berkembang biak dalam tubuh hewan ternak.  Cara yang digunakan untuk mengendalikan hama lalat tersebut dengan teknik jantan mandul (SIT sterilized insect technique).  Dari kisah pengendalian lalat dengan SIT tersebut terfikirkan untuk mengembangkan serangga transgenik untuk mengendalikan penyakit dengan vektor serangga tersebut (Donovan 2009).


Motivasi Pengembangan Serangga Transgenik


Motivasi perlu dilakukan pengembangan serangga transgenik ada kaitannyan dengan penyakit manusia yang disebarkan melalui vektor serangga.  Ada 7 penyakit mematikan dengan vektor serangga yaitu malaria, dengue fever, lymphatic filariasis, yellow fever, leishmaniasis, chagas disease, african sleeping sickness.  Penyakit dengan vektor serangga tersebut umumnya terjadi di Afrika, Asia dan Amerika latin.  



Perusahaan farmasi besar umumnya enggan berinfestasi mengembangkan obat-obatan untuk penyakit yang disebutkan sebelumnya tersebut.  Mereka menganggap pangsa pasar tidak akan mampu pembeli produk obat-obatan hasil penelitian dan investasi dengan biaya tinggi.  Akibatnya 7 penyakit mematikan dengan vektor seragga tersebut akan tetap ada, tanpa ada sulusi pencegahan dan pengobatannya.  



Masalah lain yang muncul, pengobatan di negara dunia ketiga adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang ada.  Vaksin yang sudah dikembangkan untuk mencegah suatu penyakit sering tidak efektif saat diaplikasikan di lapangan.  Tidak ada fasilitas pendingin, tidak ada listrik membuat vaksin rusak dan tidak efektif lagi untuk mencegah suatu penyakit (Donovan 2009).



Motivasi lain perlunya dikembangkan serangga transgenik adalah mengeliminasi hama tanaman pertanian dan hewan ternak.  Pengendalian menggunakan insektisida sintetis menyebabkan masalah lain yang tidak kalah pelik antara lain: pencemaran air, makanan, lingkungan, manusia, timbulnya resistensi dan resurgensi pada hama. Banyak dana dikeluarkan untuk pengendalian hama ternak lalat screw worm dan lalat buah Mediterinia.  Biaya yang dikeluarkan tersebut diharapkan akan berkurang atau bahkan tidak ada setelah aplikasi serangga transgenik untuk pengendalian vektor (Donovan 2009).



Masalah penting lain yang perlu diselesaikan yaitu hilangnya koloni lebah karena terserang oleh patogen dan juga karena pengaruh insektisida biogenik amine.  Persoalan ini kemungkinan dapat diselesaikan menggunakan pendekatan rekayasa serangga (Farooqui 2013).  Potensial penggunaan serangga transgenik adalah sebagai bioreaktor untuk menghasilkan protein obat-obatan, protein bahan makanan dalam skala besar, murah, mudah dan berkualitas (Chen et al 2006, Verkerk et al 2007).


Cara Membuat Serangga Transgenik


Ada 3 katagori yang termasuk dalam definisi serangga transgenik yaitu


1. Merusak genom serangga secara langsung menggunakan radiasi atau mutagen senyawa kimia, contohnya adalah nyamuk yang dilakukan teknik SIT (sterile insect technique).  


SIT adalah serangga transgenik pertama yang dikembangkan dengan merubah langsung genom dan dilaporkan mengalami kesuksesan.  Nyamuk dilakukan rearing masal di laboratorium, dipisahkan jantan dan betina secara manual.  Jantan diberi perlakuan radiasi radioaktif agar spermanya mengalami kerusakan.  Nyamuk jantan kemudian dilepaskan ke lapangan.  Nyamuk jantan ini akan kawin dengan nyamuk liar dan menghasilkan keturunan mandul, tidak ada telur yang menetas sehingga lambat laun populasi nyamuk di lapangan akan turun (Donovan 2009).



2. Paratransgenesis yaitu mengubah flora simbion komensalisme yang ada dalam sel atau saluran pencernaan serangga.  Tujuan paragenesis adalah mengubah kompetensi serangga vektor dengan mengubah genetik simbion yang hidup di dalamnya.  Paratransgenesis dilakukan pada simbion yang ‘absolute dependent atau ketergantungan mutlak pada inangnya (Donovan 2009).  Contoh paratransgenesis antara lain modifikasi bakteri simbion Wolbachia pada nyamuk (Weren et al 2008), modifikasi bakteri Enterobacter cloacae yang hidup di saluran pencernaan rayap (Husseneder and Grace 2005). 



Simbion seperti wolbachia diturunkan dari serangga betina ke keturunan selanjutnya, tidak infeksius, terjadi juga secara alami dalam rentang evolusi panjang.  Seperti halnya mitokondria, awalnya adalah bakteri bebas kemudian bergabung dengan sel. Walaupun mitokondria sudah bergabung dengan sel, ciri sebagai bakteri tidak hilang, salah satunya masih tetap mempunyai DNA khusus di dalam mitokondria.  Nyamuk vektor penyakit dengue fever secara alami tidak mempunyai simbion wolbacia di dalam selnya.  



Peneliti memasukkan Wolbacia pipientis ke dalam sel nyamuk Aedes aegypti, seperti mempercepat terjadinya evolusi.  A. aegypti terinfeksi W. pipientis kemudian kawin dengan nyamuk liar akan terjadi ketidak cocokan sitoplasmik sehingga keturunan yang dihasilkan mati.  Walaupun tidak melakukan perubahan genetik pada serangga inang, memasukkan simbion atau memodifikasi siombion dapat dikatagorikan sebagai serangga transgenik sehingga analisis resiko dan management pengawasan sama seperti serangga transgenik konvensional lainnya (Beech et al 2012).



3. Merubah genom serangga


Kurzgesagt (2016) membuat film animasi sederhana sehingga mudah difahami mengenai mekanisme pembuatan serangga transgenik.  Plasmodium adalah patogen penyebab penyakit malaria yang dibawa oleh vektor nyamuk Anopheles gambiae.  Plasmodium masuk ke dalam tubuh manusia saat nyamuk menghisap darah.  Plasmodium langsung menuju sel hati, berkembang biak hingga menyebabkan sel hati pecah.  Sel yang pecah membuat plasmodium terikut ke dalam aliran darah. 



Gumpalan plasmodium tidak sengaja juga akan menempel pada sel darah merah yang mengalir di pembuluh darah.  Plasmodium akan bereplikasi hingga membuat sel darah merah rusak dan pecah.  Semakin banyak plasmodium yang berhasil berkembang biak maka jumlah sel darah merah yang rusak dan pecah semakin banyak.  Jika tidak ditolong oleh tenaga medis maka seseorang terserang plasmodium akan mengalami kematian.  Untuk mencegah kematian yang semakin banyak akibat plasmodium ini dilakukan rekayasa nyamuk transgenik. 



DNA nyamuk yang dipelihara di laboratorium dipotong dengan gunting enzim restriksi endonuklease.  DNA ini kemudian disisipi dengan DNA dari luar sesuai kebutuhan misalnya hasil akhirnya adalah keturunan tidak lagi sebagai vektor plasmodium.  Serangga transgenik ini kemudian dilepaskan ke lingkungan.  Nyamuk transgenik akan kawin dengan nyamuk liar hingga dihasilkan keturunan transgenik.  Pada awalnya serangga transgenik sedikit dengan semakin banyaknya terjadi perkawinan dengan nyamuk liar maka populasi nyamuk transgenik akan semakin banyak.  Sehingga diharapkan nyamuk di suatu hari nanti tidak lagi sebagai vektor plasmodium yang dapat menyebabkan penyakit malaria.




Pembuatan serangga transgenik dapat juga ditujukan untuk keperluan SIT (sterile insect technique) yaitu serangga jantan dan betina hasil rekayasa genom di laboratorium akan kawin dengan serangga liar menghasilkan keturunan tidak dapat berkembang atau mati.  Schetelig et al (2009) menerangkan cara membuat lalat buah mediteria (Ceratitis capitata) untuk keperluan menurunkan populasi lalat buah liar di alam dengan introduksi C. capitata hasil rekayasa genetika.  



Cara memasukkan DNA rekombinasi untuk tujuan SIT secara invitro menggunakan bantuan ‘jumping gen’ enzim transposase PiggyBac.  PiggyBac yang sudah masuk ke tubuh lalat buah transgenik harus dibuang kembali karena jika tidak dibuang dikhawatirkan DNA rekombinan akan meloncat masuk ke organisme lain.  Dengan membuang transposase PiggyBac maka, DNA rekayasa bersifat stabil dan tidak dapat keluar berpindah ke organisme lain.



Hal penting lain dalam membuat lalat buah rekayasa genetik adalah gen untuk keperluan SIT akan menyisip di sembarang lokasi dalam genom serangga.  Lokasi gen SIT yang tidak tepat dapat menyebabkan lalat buah mengalami cacat fisik, tidak dapat terbang, lemah tidak mampu bersaing memperebutkan pasangan. 



Untuk mendapatkan tempat penyisipan gen SIT yang tepat diperlukan pengerjaan injeksi DNA invitro pada embrio lalat buah secara acak.  Jika lokasi penyisipan DNA di genom lalat buah sudah tepat yakni lalat berkembang sempurna tanpa kekurangan, maka lokasi DNA tersebut dapat diketahui karena digunakan marker attP (attachmentP).  Marker aatP adalah ruas DNA yang dapat mengekpresikan warna jika serangga disinari dengan UV.  Populasi lalat buat mengandung marker aatP dipelihara di lab untuk keperluan pengerjaan selanjutnya (Schetelig et al 2009).


Setelah mendapatkan populasi lalat buah dengan marker aatP maka proses selanjutnya yaitu menciptakan plasmid yang juga mengandung marker sebagai penanda serangga rekombinan berhasil terbentuk.  Plasmid bermarker ini disisipi dengan DNA untuk keperluan SIT.  Agar plasmid dapat terintegrasi dengan DNA lalat buah target di lokasi aatP maka, plasmid perlu diberikan enzim peloncat transposase PiggyBac.  



Plasmid dengan transposase PiggyBac diinjeksikan secara invitro pada embrio lalat buat bermarker aatP.  Lalat buah transgenik yang berhasi diciptakan dideteksi dengan cara imago disinari dengan UV, lalu mengekspresikan 2 warna dari marker aatP dan marker plasmid.  Populasi serangga transgenik ini dikawinkan sesamanya sehingga didapatkan lalat buah homozigot AA (Schetelig et al 2009).



Proses selanjutnya menciptakan populasi lalat buah lain yang mengandung PiggyBac jumpstarter homozigot BB.  Perkawinan antara lalat buah mengandung jumstarter BB ini dengan populasi transgenik AA menghasilkan lalat buah tanpa transposase PiggyBac dan populasi lalat buah dengan transposase PiggyBac. Populasi lalat buah tanpa enzim transposase PiggyBac yang juga mengandung gen untuk keperluan SIT inilah yang akan dilepaskan kelapangan.  Populasi lalat buah dengan enzim peloncat PiggyBac tidak dipakai kemudianmati.  Karena lalat buah transgenik tidak lagi mengandung enzim peloncat maka tidak ada kekawatiran DNA transgenik akan lolos dan berintegrasi dengan DNA pada organisme lain di alam (Schetelig et al 2009).


Cara Serangga Transgenik Mengendalikan Populasi Hama atau Vektor


Ada 2 strategi untuk mengendalikan populasi serangga hama atau serangga vektor di alam yaitu

1. Strategi membatasi diri (Self-limiting strategies)


Serangga transgenik setelah dilepaskan ke alam liar, cepat atau lambat populasinya akan menghilang dari lingkungan pelepasan.  Untuk itu jika populasi hama atau vektor masih banyak di alam, maka perlu dilakukan pelepasan ulang serangga transgenik.  Contoh strategi membatasi diri ini adalah pelepasan serangga SIT (sterile insect technique) yang didapatkan melalui teknik radiasi langsung genom serangga.  


Serangga SIT akan kawin dengan serangga liar menghasilkan keturunan mortal.  Dengan terus menerusnya terjadi perkawinan tersebut maka lambat laun populasi liar jumlahnya akan berkurang bahkan hilang.  Tujuan akhir dari strategi membatasi diri adalah population suppression, yaitu populasi hama atau vektor jumlahnya tertekan, sehingga lambat laun akan habis bahkan bisa punah (Beech et al 2012). 


 Pemasukan bakteri wolbacia pada sel nyamuk vektor dengue fever A. aegypti juga menggunakan strategi Self-limiting strategies. Nyamuk terinfeksi wolbacia jika kawin dengan nyamuk liar akan terjadi ketidak cocokan sitoplasma sehingga keturunan yang dihasilkan akan mati (Werren et al 2008).



Beberapa kemungkinan yang dapat dianalisis dari pelepasan serangga SIT.  Serangga transgenik memang didisain untuk mati, kemudian serangga hama atau vektor juga akan punah.  Maka ada satu spesies serangga punah dari muka bumi.  Pertanyaan besar untuk kelangsungan mata rantai jaring makanan di suatu ekosistem.  Setiap satu mata rantai hilang pasti akan menimbulkan dampak tidak baik pada rantai makanan berikutnya.  Bisa juga dilakukan alternatif, populasi hama atau vektor dilakukan management tidak sampai habis di alam liar.  Jika suatu waktu populasi vektor meningkat dapat dilakukan aplikasi pelepasan ulang serangga transgenik SIT.


2. Strategi serangga transgenik untuk establish dan menyebar


Contoh strategi establish dan menyebar adalah pelepasan nyamuk transgenik A. gambiae untuk pengendalian nyamuk vektor plasmodium penyebab penyakit malaria, seperti diulas sederhana oleh Kurzgesagt (2016).  Serangga transgenik yang dilepaskan ke alam liar akan tetap berada di lingkungan.  Populasi serangga transgenik seiring dengan berjalannya waktu akan mengingkat dan menyebar.  Terjadi peristiwa population replascement.  Serangga transgenik akan menggantikan populasi nyamuk A. gambiae liar di alam.  Plasmodium tidak dapat hidup dalam serangga transgenik sehingga penyakit malaria dikemudian hari diharapkan tidak terjadi lagi (Beech et al 2012).
           

Keuntungan Pemakaian Serangga Transgenik


 Beberapa manfaat yang dapat dirasakan dari penggunaan serangga transgenik antara lain:
  • . Serangga non target yang terkena dampak serangga transgenik lebih sedikit dibandingkan jika menggunkan aplikasi insektisida
  • .  Serangga transgenik mampu mengendalikan populasi hama dan vektor secara menyeluruh, pada setiap sudut tempat yang mungkin tidak terjangkau jika dilakukan pengendalian konvensional.
  • .  Serangga rekayasa genetika dapat melakukan andil mengurangi penggunaan insektisida dan mengurangi residu toksik yang masih tertinggal di lingkungan.
  • .  Serangga transgenik mampu melakukan fungsinya baik sebagai pengendali hama dan vektor juga sebagai bioreaktor tanpa supervisi manusia selama 24 jam non stop, 7 hari seminggu, 30 hari dalam sebulan (Donovan 2009).


Resiko Pemanfaat Serangga Transgenik


  • Dampak negatif yang mungkin dirasakan dengan pelepasan serangga transgenik ke alam liar adalah
  • Timbulnya resistensi pada serangga atau patogen.  Strategi replacement, penggantian suatu populasi, ada kemungkinan memicu munculnya patogen virulen jenis lain.
  • Eliminasi satu spesies dapat menimbulkan resiko dominannya spesies serangga lain, yang mungkin lebih invasif membuat kerusakan.
  • Bisa terjadi kemungkinan gene dalam serangga transgenik berpindah ke spesies lain (horizontal gene transfer).  Kemungkinan terjadinya gene trasfer ini dapat dijelaskan oleh Schetelig et al (2009) tidak akan terjadi karena enzim pemindah transposase, misal PiggyBac sudah dihilangkan dari serangga transgenik, sehingga gen dari transgenik tidak dapat keluar secara otomatis.
  • Dampak yang belum diketahui dari larva serangga transgenik terhadap tanaman, kesehatan manusia dan lingkungan.
  • Jika sudah terjadi suatu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh seragga rekayasa genetika, sifatnya tidak dapat balik (Donovan 2009).




Contoh-Contoh Aplikasi Serangga Transgenik Dalam Kehidupan



Sel serangga sebagai sumber pangan bagi manusia.


Pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat perlu dicari alternatif memenuhi kebutuhan protein, disamping protein utama dari hewan ternak dan tumbuhan.  Serangga merupakan alternatif sumber pangan protein yang relatif murah dan efisien.  


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa beberapa spesies serangga aman untuk dikonsumsi.  Akan tetapi bentuk utuh serangga terkadang membuat jijik orang yang akan mengkonsumsinya.  Padahal dari segi nutrisi, serangga tidak kalah kandungan gizi dibandingkan hewan ternak lain.  Seperti contoh Orthoptera, dalam 100 g berat kering serangga terkandung 61-77 g protein, 4-17 g lemak, 2-17 g mineral, 362-427 kkalori (Bukkens 1997). 


Nutrisi dari serangga didapatkan dengan cara: membiakkan larva atau pupa sebagai bioreaktor atau membiakkan kultur sel serangga invitro.  Memelihara serangga skala besar sebagai bioreaktor alami mempunyai kendala seperti masalah ruang, kesehatan serangga, tidak efisien, serangga sering menghasilkan bahan alergan sehingga akan berpengaruh buruk bagi yang memelihara.  



Untuk itu dicari cara termudah, lebih efisien yaitu menggunakan kultur sel serangga invitro.  Sel serangga kemudian diinfeksi dengan Baculovirus yang DNAnya sudah disisipi gen untuk keperluan manusia, misalnya gen tersebut nantinya akan mengekspresikan protein untuk keperluan konsumsi.  Keuntungan lain menggunakan Baculovirus karena virus tersebut diketahui tidak berbahaya bagi manusia dan hanya spesifik menginfeksi serangga.  Keuntungan memproduksi protein melalaui kultur sel serangga adalah bioreaktor buatan tidak memerlukan ruangan masif seperti jika membiakkan serangga.  Bioreaktor tersebut tertutup sehingga tidak ada kontaminasi atau terjadi alergi pada pekerja (Verkerk 2007).


Produksi protein obat hGM-CSF pada pupa ulat sutra (Bombyx mori).


Myelodysplastic syndromes adalah kondisi dimana sumsum tulang belakang tidak dapat memproduksi sel darah merah, sel darah putih dan platelet (mds-foundation 2016).  Protein hGM-CSF (human granulocyte-macrophage colony stimulating factor) dapat digunakan sebagai prekursor agar sel sumsum tulang belakang kembali lagi berfungsi.  Protein hGM-CSF dapat juga digunakan untuk mengobati regenerative drawback anemia, visceral leishmaniasis dan AIDS.  Selama ini protein hGM-CSF dihasilkan dari ekspresi bakteri Escherichia coli, hanya saja protein tidak terlipat dengan sempurna sehingga mempengaruhi keefektifan dalam proses pengobatan penyakit.



Produksi protein hGM-CSF dapat dihasilkan melalui larva B. mori yang diinfeksi baculovirus dimana DNAnya sudah disisipi dengan gen hGM-CSF. Hanya saja, larva membutuhkan proses rearing dengan pakan daun mulberry pada kondisi suhu stabil (25-28oC). Untuk itu Chen at al (2006) mencoba memproduksi protein hGM-CSF menggunakan pupa B. mori sehingga tidak perlu dilakukan proses pemiliharaan intensif.  Protein hGM-CSF dapat diproduksi dari pupa B. mori yang diinfeksi baculovirus rekombinan, dengan tingkat glikosilasi residu gula manose tinggi dan karakteristik protein sesuai hGM-CSF alami.



Paratransgenesis untuk pengendalian hama rayap.  

Di dalam saluran pecernaan rayap dipenuhi oleh komunitas mikroba.  Rayap sangat tergantung pada mikroba ini untuk memenuhi kebutuhan nitrogen, karbon, dan energi.  Mikroorganisme dalam saluran pencernaan juga sebagai pelindung rayap dari serangan bakteri dari luar tubuh.  Antar rayap saling bertukar koloni mikroba saluran pencernaan melalui proses: grooming, pertukaran makanan dan coprophagy (makan kotoran) (Dillon and Dillon 2004 dalam Husseneder 2005).  


Karena ketergantungan tinggi rayap pada mikroflora dalam saluran pencernaannya, maka hal ini potensial digunakan sebagai sarana pengendalian rayap.  Sebagai ilustrasi, bakteri mikroflora rayap genomnya disisipi gen penghasil toksin Bacillus thuringiensis.  Dengan adanya sifat grooming, coprophagy dan pertukaran makanan maka toksin B. thuringiensis akan cepat tersebar ke seluruh koloni rayap sehingga dapat menyebabkan kematian masal koloni.
            


Proses pembuatan rekayasa paratransgenesis sebagai berikut seperti diulas oleh Husseneder dan Grace (2005).  Di dalam saluran pencernaan rayap Formosan Subteranean (Coptotermes formosanus Shiraki, Isoptera: Rhinotermitidae) terdapat bakteri indegenous Enterobacter cloacae.  Seperti diketahui setiap bakteri mempunyai plasmid.  Plasmid E. cloace diisolasi, dipotong dengan enzin restriksi, disisipi gen pengendali rayap misalnya Bt toksin, marker lacZ dan gen resisten antibiotik ampicillin.  Marker lacZ berfungsi sebagai penanda bahwa gen Bt toksin sudah masuk dalam plasmid, jika disinari di bawah UV maka bakteri akan berwarna hijau.  



Gen resisten antibiotik ampicillin digunakan, saat menumbuhkan koloni bakteri dalam cawan petri yang diberi sejumlah konsentrasi ampicillin, maka bakteri non target mati sedangkan bakteri mengandung DNA rekombinan akan tetap hidup.  Bakteri tahan antibiotik kemudian berwarna hijau ketika disinari UV adalah sebagai penanda bahwa DNA mengandung Bt toksin sudah berada di dalam plasmid.



Koloni bakteri E. cloacae mengandung gen Bt toksin disiramkan pada kertas saring, kemudian rayap pekerja diberi waktu 12 jam untuk memakan kertas saring tersebut.  Hasilnya 90-100% populasi bakteri E. cloacae dalam saluran pencernaan rayap C. formosanus Shiraki sudah mengandung bakteri transgenik.  Dari rayap pekerja yang bertugas memberi makan koloni, maka bakteri transgenik tersebar ke seluruh populasi.  Populasi C. formosanus akan mati kerena racun toksin.  Husseneder dan Grace (2005) juga menjelaskan tanah tempat hidup rayap tidak terdeteksi adanya bakteri rekombinan mengandung gen Bt toksin sehingga tidak ada kekawatiran toksin akan menyebar ke organisme lain.



Ekspresi enzim asetilkolinesterase   lalat untuk deteksi residu pestisida.  


Pestisida berbahan aktif posfat dan karbamat bekerja dengan cara mengikat enzim asetilkolinesterase (AchE) yang berada di percabangan syaraf antara akson dengan dendrit.  Karena AChE diikat oleh posfat dan karbamat maka neurotransmitter asetilkoline tidak dapat dipecah menjadi asetil dan koline sehingga terjadi penumpukan asetilkoline di sinap syaraf.  Sinyal listrik tidak dapat berjalan lancar menyebabkan serangga kejang-kejang, lumpuh dan mati.  


Pemakaian pestisida yang tidak bijaksana membuat residunya masih terdapat di bahan makanan, tanah, air, hewan ternak dll.  Residu pestisida berbahan aktif posfat dan karbamat ini dapat dideteksi keberadaannya menggunakan enzim AChE sintetik menggunakan prinsip molekular (Lang et al 2010).  AChE dimasukkan dalam cairan mengandung residu posfat dan karbamat akan terjadi reaksi ikatan AChE dengan posfat dan karbamat.  Sebaliknya jika sampel tidak mengandung residu pestisida maka tidak akan terjadi ikatan apapun.



Proses pembuatan enzim AChE sintetik dijelaskan Lang et al (2010) sebagai berikut. Kepala lalat rumah (Musca domestica) diekstrak untuk mendapatkan total RNA.  Komplemen DNA disintetik dari total RNA menggunakan enzim reverse transcriptase dan oligo T (dT) primer.  Gen penyandi AChE yang sudah didapat kemudian disisipkan dalam plasmid pGEM-T.  Plasmid mengandung gen AChE kemudian dimasukkan dalam baculovirus transfer vektor pFastBac 1.  


Baculovirus transgenik yang mengandung gen AChE kemudian di infeksikan ke kultur sel serangga Trichoplusia ni.  Ekspresi DNA rekombinan berupa enzim AChE kemudian dipanen dengan sentrifugasi dan purifikasi.  Enzim murni AChE ini yang digunakan untuk deteksi adanya residu senyawa posfat dan karbamat di lingkungan, bahan makanan dll.  Enzim sintetik mampu mendeteksi adanya senyawa residu pestisida 0,02 ppm untuk bahan aktif Dichlorvos; 0,12 ppm untuk carbofuran; 0,15 ppm untuk propoxur; 0,15 ppm untuk bendiocas; dan 2  ppm untuk methomyl.



Daftar Pustaka

Beech CJ, Koukidou M, Morrison NI, Alphey L. 2012. Genetically modified insects: science, use, status and regulation.  Collection of Biosafety Reviews 6:66-124.
Biology Animation Videos.  2016.  Transposons animation-DNA transposable element. YOUTUBE [diakses 4 Desember 2016].
Bukkens SGF. The nutritional value of edible insects. Ecol Food Nutr 36:287-319.
Chen J, Wu XF, Zhang YZ.  2006. Expression, purification and characterization of human GM-CSF using silkworm pupae (Bombyx mori) as a bioreactor. Journal of Biotechnology 123: 236-247.
Cohen SN, Chang ACY, Boyer HW, Helling RB. 1973. Contruction of biologically functional bacterial plasmid in vitro. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 70 (11):3240-3244.
Donovan MJ. 2009. Genetically modified insecet: why do we need them and how will they be regulated.  17 Mo. Envtl. L. & Pol'y Rev. 62
Farooqui T. 2013. A potential link among biogenic amines based pesticides,learning and memory, and colony collapse disorder:  a unique hypothesis. Neurochemistry International 62:122-136
Herren RV.  2005.  Introduction to Biotehnology An Agricultural Revolution.  Thomson Delmar Learning: USA
Husseneder C, Grace JK. 2005.  Genetically engineered termite gut bacteria (Enterobacter cloacae) deliver and spread foreign genes in termite colonies. Applied Genetics and Molecular Biotechnology 68: 360-367.
Karp Gb. 2014. Cell Biology Seventh Edition. Wiley: Asia.
Kurzgesagt. 2016. Easy understanding A.aegipti modified insect.  YOUTUBE.
Lang GJ, Shang JY, Chen YX. 2010. Expression of the housefly acetylcholinesterase in a bioreactor and its potential application in the detection of pesticide residues. World J Microbiol Biotechnol 26:1795-1801.
Mds-foundation.org. 2016. Understanding myelodysplastic syndrom. www.mds-foundation.org/what-is-mds [diakses 3 Desember 2016].
Schetelig MF, Scolari F, Handler AM, Kittelmann S, Gasperi G, Wimmar EA. 2009. Site-specific recombination for the modification of transgenic strains of the Mediterranean fruit fly Ceratitis capitata.  PNAS 43(106): 18171-18176.
Transpoagenbio.  2016.  The PiggyBacTM Transposagen.  www.transposagenbio.com/products-and-services/gen-editing-reagent-and-kits/piggybac [diakses 4 Desmber 2016].
Verkerk MC, Tramper J, van Trijp JCM, Martens DE. 2007. Insect cell for human food.  Biotechnology Advances 25:198-202.
Watson JD & Crick FHC. 1953. The structure of DNA. Cold Spring Harb Symp Quant Biol 18:123-131
Werren JH, Baldo L, Michael EC. 2008. Wolbachia: master manipulators of invertebrate biology.  Nature Reviews Microbiology Volume 6.

Wessler S. 2012. Introduction to transposable elements. iBiology. YOUTUBE.